Oleh: Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi dasar tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.
Rasulullah Saw selalu menekankan kepada umatnya untuk selalu taat kepada pemimpin dalam batas-batas syari’atnya. Nash-nash syara yang berbicara tentang ketaatan kepada pemimpinan jumlahnya sangat banyak. Di dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan RasulNya, serta pemimpin diantara kalian.” (Qs. an-Nisâ’ [5]: 59).
Ketaatan kepada pemimpin juga banyak disinggung di dalam sunnah. Rasulullah Saw bersabda:
Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi Saw, beliau Saw bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah SWT tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mata, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR. Muslim].
Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah olehmu, walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Ethiopia yang bentuk kepalanya seperti biji kurma.” [HR. Bukhari].
Dari Ibnu ‘Abbas ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang membenci sesuatu dari tindakan penguasanya, hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan penguasanya walupun hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati di jaman jahiliyyah.” (Imam Nawawi, Riyâdl ash-Shâlihîn).
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang taat kepada penguasa maka, ia benar-benar telah taat kepadaku, dan barangsiapa yang durhaka kepada penguasa maka ia benar-benar telah durhaka kepadaku.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Akan tetapi, ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan harus diberikan kepada pemimpin, selama dirinya taat kepada Allah SWT dan RasulNya. Jika pemimpin tidak lagi mentaati Allah dan RasulNya, maka tidak ada ketaan bagi dirinya. Al-Qur’an telah memberikan batasan yang sangat jelas dan tegas dalam memberikan ketaatan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” (Qs. al-Kahfi [18]: 28).
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir.” (Qs. Fâthir [35]: 52).
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.” (Qs. al-Qalam [68]: 8).
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (Qs. al-Qalam [68]: 10).
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (Qs. al-Insân [76]: 24).
Meskipun ayat ini dari sisi khithab (seruan) ditujukan kepada Rasulullah Saw, akan tetapi khithab untuk Rasul juga merupakan khithab bagi umatnya. Atas dasar itu, kaum muslim dilarang mengikuti atau mentaati pemimpin-pemimpin yang kafir, mendustakan ayat-ayat Allah SWT, serta banyak melakukan maksiyat di sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Bahkan, Rasulullah Saw mengijinkan umatnya untuk memerangi penguasa-penguasa yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Auf ibnu Malik, dituturkan: “…ditanyakan oleh para sahabat: ‘Wahai Rasulullah tidakkah kita serang saja mereka itu dengan pedang?’, Beliau menjawab: ‘Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah masyarakat (maksudnya melaksanakan hukum-hukum syara’).”
Dalam hadits riwayat Ubadah Ibnu Shamit disebutkan:
“Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali, ‘Apabila kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah SWT.”
Makna sholat pada hadits riwayat ‘Auf bin Malik adalah hukum-hukum syari’at. Pengertian hadits-hadits di atas adalah, jika penguasa-penguasa itu telah menampakkan kekufuran yang nyata, alias menerapkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum muslim, maka kaum muslim diijinkan untuk menentang dan memisahkan diri dari mereka. Bahkan, apabila kita ridlo dan menyetujui tindakan-tindakan sang penguasa maka, kita akan berdosa di sisi Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda:
“Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka).” [HR. Muslim].
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa yang tidak menerapkan Islam, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah SWT. Sebaliknya, siapa saja yang meridloi dan mendiamkan kedzaliman, dan kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah SWT.
Demi Allah, masalah memberikan ketaatan kepada pemimpin bukanlah masalah sepele. Apabila kita salah memberikan ketaatan, taruhannya adalah siksa dan pahala dari Allah SWT. Ketaatan kepada pemimpin yang menjalankan syariat Allah adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Namun, ketaatan pemimpin yang menolak dan menjauhi aturan Allah adalah larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap muslim. Atas dasar itu, ketaatan yang diberikan kepada pemimpin akan memberikan implikasi pahala dan siksa.
Seorang mukmin tidak boleh menyatakan, “Kami ini adalah rakyat yang hanya mengikuti pemimpin. Walhasil, jika apa yang ditetapkan oleh pemimpin itu salah maka pemimpinlah yang salah, sedangkan kami hanya orang yang mengikuti keputusan pemimpin, jadi kami tidak berdosa.” Sungguh, perkataan semacam ini telah ditangkis oleh al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andaikan kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukann yang besar.” (Qs. al-Ahzab [33]: 66-68).
Para penghuni neraka selalu mengiyakan dan mengikuti tingkah polah sang pembesar dan pemimpin. Padahal, pembesar dan pemimpin itu telah menyesatkan mereka. Atas dasar itu, setiap orang akan diminta pertanggungjawaban di sisi Allah, ketika dirinya memberikan ketaatan kepada sang pemimpin. Siapa saja yang mengikuti dan mengiyakan pemimpin-pemimpin yang meluputkan diri dari aturan-aturan Allah, kelak mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih. Sementara itu, pemimpin dan pembesar yang menyesatkan rakyatnya, mereka akan mendapatkan siksa dua kali lebih berat daripada orang yang disesatkannya. Na’udzu billahi min dzalik.