Rabu, 19 Oktober 2011

Orang Beriman Rindu Allah SWT



Orang Beriman Rindu Allah SWT

Orang beriman, seorang mukmin atau Muslim, pastinya selalu merindukan Allah SWT. Rasa rindu itu mendorongnya untuk senantiasa dekat dan bertemu dengan-Nya. Rasa rindu itu muncul karena rasa cinta. Orang yang mencintai Allah (mahabbatullah) pastinya selalu pula merindukannya.

Cinta kepada Allah SWT itu menjadi salah satu karakter utama seorang mukmin.  QS. Al-Baqarah:165 menegaskan:

“Orang-orang yang beriman itu sangat besar cinta mereka kepada Allah.

Kecintaan kepada Allah itu menjadikan seorang mukmin senantiasa berusaha dekat dan menemui-Nya, dengan senantiasa menghadirkan Allah di hatinya (dzikir), mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat yang disukai dan yang dimurkai-Nya, serta senantiasa mengikuti Sunnah Rasulullah Saw dalam beribadah dan menjalani kehidupan.

Mengikuti Sunnah dan pola hidup Rasul merupakan bukti atau perwujudan cinta kepada Allah SWT.
Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran:31).

Cinta kepada Allah SWT harus di atas kecintaan terhadap yang lain. Cinta Allah menjadi yang utama. Dengan demikian, seorang mukmin akan merasakan manis atau lezatnya iman. Rasulullah Saw menegaskan:
Tiga hal yang barangsiapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.

Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya:

Pertama,  cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrok). Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup.
Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.

Kedua, cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan. Makin intensif pengenalan dan makin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu, maka makin besar peluang sesuatu itu untuk dicintai.

Ketiga, manusia tentu mencintai dirinya. Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Allah SWT. Cinta itu lalu melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama dan seluruh alam.

Bagi Imam Al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.

Cnta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekadar efek samping, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa.

Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti tobat, sabar, zuhud, dan lain-lain.

Uraian di atas juga menegaskan, jika kita bermalas-malasan dalam beribadah dan beramal saleh, langka dzikir dan mengkaji kitabullah, maka itu tanda ketiadaan cinta kepada Allah SWT karena kita tidak merindukan-Nya. Jika demikian, maka tingkat keimanan kita patut dipertanyakan, bahkan benarkan kita beriman kepada Allah SWT? Benarkan kita seorang mukmin? Jika ya, mengapa kita tidak mencintai dan merindukan Allah, serta gemar beribadah dan beramal saleh, agar selalu dekat dan bertemu dengan-Nya? Wallahu a’lam.*