Khamis, 16 Jun 2016

Kewajiban Memilih Pemimpin



Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam selalu berdo’a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dan buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS Al Baqarah [2]:126).

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Dalam kehidupan rumah tangga, diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala kecil apalagi dalam skala besar seperti wilayah provinsi dan negara. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ وُلِيَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ شَيْئًا فَاحْتَجَبَ عَنْ أُوْ لِى الضَّعْفِ وَالْحَاجَةِ، إِحْتَجَبَ اللهُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barangsiapa diserahkan kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya, maka Allah akan mengindahkannya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)

Di dalam Islam, pemimpin kadangkala disebut imam tapi juga khalifah. Dalam shalat berjamaah, imam berarti orang yang di depan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani.

Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus selalu di depan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang atau datang sesudah yang digantikan.

Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya kearah kebenaran.

Di samping itu, pemimpin disebut juga dengan ra’un yang artinya gembala, karena seorang gembala biasanya sangat bertanggungjawab terhadap gembalaannya, baik makan dan minumnya maupun keamanan serta kelangsungan hidupnya.

Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan Islam pemimpin itu memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam.

Kriteria Pemimpin.

Karena begitu besar tanggungjawab seorang pemimpin dalam Islam, maka manakala kita harus memilih seorang pemimpin, harus dengan kriteria yang seideal mungkin.

Adapun diantara kriteria seorang pemimpin di dalam Islam antara lain;

Pertama, memiliki aqidah yang kokoh dan pemahaman terhadap ajaran Islam yang memadai sehingga dengan modal ini seorang pemimpin akan selalu terikat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam segala aspek kehidupannya.

Karenanya bila ada pemimpin yang muslim dan telah menunjukkan ketaatannya, tidak dibenarkan bagi kita memilih yang bukan muslim sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Ali Imran [3]:28).

Kedua, memiliki daya ingat yang kuat, cerdas, berwawasan yang luas, berpandangan ke masa depan yang baik, memiliki ketajaman berpikir dan mampu menganalisa dengan baik berbagai persoalan yang dihadapi.

Ketiga, sabar, penyantun, ramah dan lemah lembut sehingga segala persoalan tidak dihadapai secara emosional.

Keempat, benar dan dapat dipercaya, baik ucapan maupun perbuatannya, sebab manakala seorang pemimpin sudah tidak bisa dipercaya oleh orang yang dipimpinnya, akan sangat sulit baginya mencapai tujuan.

Kelima, tawadhu atau rendah hati, sehingga dengan sifat ini seorang pemimpin tidak akan berlaku sombong kepada orang yang dibawahinya dan tidak akan minder kepada orang yang lebih tinggi darinya dalam hal yang sifatnya duniawi.

Keenam, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan berbagai lapisan masyarakat, baik komunikasi lisan maupun tulisan.

Ketujuh, memiliki pendirian yang teguh dalam arti bila kebenaran sudah dipegang dan hendak dilaksanakan, maka dia akan terus berpendirian terhadap kebenaran itu.

Kedelapan, bersikap dan bertindak adil sehingga yang salah akan disalahkan dan yang benar dibenarkan.

Kesembilan, selalu optimis akan keberhasilan usahanya.

Kesepuluh, memiliki kondisi fisik yang sehat atau memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga tugas-tugas seorang pemimpin bisa dilaksanakan dengan baik karena salah satunya ditunjang dengan fisik yang sehat.

Pemimpin Yang Baik dan Buruk.

Pemimpin yang baik akan membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, sedangkan pemimpin yang buruk akan membawa kehidupan masyarakat yang dipimpinnya menjadi lebih buruk.

Para pemimpin dan calon-calon pemimpin harus mengetahui dan memahami seperti apa pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk agar ia bisa menjadi pemimpin yang baik bukan malah menjadi pemimpin yang buruk.

Dalam keterangan yang sederhana, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan gambaran tentang pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk dalam satu haditsnya:

خِيَارُ اَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْ نَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ

“Sebaik-baik pemimpin adalah orang yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian juga mendo’akan mereka.” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan gambaran tentang pemimpin yang baik bahkan yang terbaik dengan memiliki dua keriteria.

Pertama, mencintai rakyat dan dicintai rakyat.

Manakala pemimpin mencintai rakyatnya, maka segala usaha yang dilakukan oleh pemimpin adalah untuk kebaikan rakyat dengan cara-cara yang baik.

Pemimpin yang mencintai rakyat tidak rela dan tidak akan membiarkan rakyatnya menderita sementara ia dalam keadaan senang.

Pemimpin yang mencintai rakyatnya tidak akan membiarkan rakyat terjerat dalam berbagai persoalan hidup tanpa usaha untuk memecahkan dan mengatasi masalah itu.

Pemimpin yang mencintai rakyat akan melindungi rakyatnya dari berbagai macam gangguan sehingga rakyatnya berada dalam keamanan dan ketenangan dimanapun mereka berada.

Pemimpin yang mencintai rakyat akan selalu berusaha memenuhi hak-hak rakyatnya serta memberikan fasilitas yang memadai, hak untuk hidup, hak beribadah, hak mendapatkan rizki, hak menuntut ilmu dan sebagainya.

Tegasnya, pemimpin yang mencintai rakyatnya adalah pemimpin yang mau melayani rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga rakyat dapat menjalani kehidupan yang baik, lahir dan batin.

Manakala pemimpin telah menunjukkan kecintaan kepada rakyatnya, tidak ada alasan bagi rakyat untuk tidak bisa mencintai pemimpinnya. Karena itu, bila rakyat mencintai pemimpinnya, rakyat akan selalu memberikan dukungan atas kepemimpinan yang dijalankan, rakyat taat kepada pemimpin dalam perkara-perkara yang benar dan mereka tidak ragu-ragu dan tidak takut-takut untuk menegur, menasihati atau mengkritik pemimpinnya bila melakukan tindakan yang salah.

Rakyat yang mencintai pemimpinnya tidak ingin melihat pemimpinnya melakukan kesalahan. Rakyat akan selalu bersama pemimpin dalam suka dan duka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فىِ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَاَثِرَةٍ عَلَيْكَ

“Hendaklah kamu mendengar, patuh dan taat (kepada pemimpin) dalam masa senang (mudah dan lapang), dalam kesulitan dan kesempitan, dalam hal yang kamu suka maupun hal yang kamu tidak suka meskipun hal itu merugikan kepentinganmu.” (HR. Muslim dan Nasa’i).

Kedua, mendo’akan rakyat dan dido’akan rakyat.

Bila pemimpin sudah memberikan perhatian kepada rakyat karena cintanya yang begitu besar dan dalam, maka iapun pasti menginginkan segala kebaikan bagi rakyatnya. Untuk itu, sebagai seorang muslim ia selalu berdo’a dan salah satu muatan dalam do’anya adalah mengharapkan kebaikan bagi rakyatnya.

Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa berdo’a itu bukan hanya untuk kebaikan rakyatnya yang muslim, rakyat yang kafirpun akan diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kesenangan di dunia ini.

Sebagai seorang pemimpin, Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam selalu berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki dan buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”

Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS Al Baqarah [2]:126).

Setelah menggambarkan ciri pemimpin yang baik, hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menjelaskan tentang gambaran pemimpin yang buruk, bahkan terburuk dengan sabdanya:

وَشِرَارُ اَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيَبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ

“Dan seburuk-buruk pemimpin adalah orang yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, mereka kalian kutuk dan mereka mengutuk kalian.” (HR. Muslim). Dari hadits di atas, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengemukakan dua gambaran tentang pemimpin yang buruk, bahkan seburuk-buruk pemimpin.

Pertama, dibenci rakyat dan membenci rakyat.

Ini merupakan sesuatu yang sangat menakutkan dan tidak membahagiakan.

Pemimpin menjadi sangat buruk apabila ia membenci rakyatnya, akibatnya ia tidak suka bila rakyatnya mencapai kemajuan, karena kemajuan rakyat akan menjadi saingan bagi pemimpin.

Pemimpin yang membenci rakyatnya juga tidak suka bila rakyatnya memiliki ilmu yang banyak dan kecerdasan berpikir, karena dengan begitu pemimpin yang buruk itu tidak bisa lagi membodohi rakyatnya, bahkan pemimpin seperti ini tidak ragu-ragu untuk membunuh rakyatnya sendiri, itulah yang pernah dilakukan oleh Fir’aun laknatullah yang mengeluarkan kebijakan membunuh setiap bayi laki-laki, karena anak laki-lakilah yang kelak berpotensi menjadi pemimpin yang bisa jadi akan menggeser posisi kepemimpinannya.

Kedua, mengutuk rakyat dan dikutuk rakyat.

Di dunia ini, kita dapati pemimpin seperti ini, pemimpin yang mengutuk dan mencaci maki rakyat yang sebenarnya menjadi tanggungjawabnya. Bila pemimpin bersikap demikian, tidak ada yang dipikirkan dan diusahakan melainkan keburukan bagi rakyatnya, kecuali bagi rakyat yang mau menuruti kehendak-kehendaknya yang tidak benar.

Manakala pemimpin suka mengutuk rakyatnya, maka rakyatpun akhirnya mengutuk para pemimpinnya, meskipun kutukan itu tidak diungkapkan secara terbuka, karena resiko yang tidak menyenangkan akan menimpa mereka.

Dari uraian yang singkat ini, dapat kita simpulkan bahwa bila suatu masyarakat dan bangsa memiliki pemimpin yang baik, kebahagiaan akan diperoleh, tidak hanya bagi sang pemimpin dan keluarganya, tapi juga bagi rakyat yang dipimpinnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Sebaliknya bila pemimpin buruk, maka ketidaktenangan dan kekacauan akan melanda kehidupan, tidak hanya bagi rakyat yang dipimpin, tapi juga bagi pemimpin itu sendiri serta keluarganya. Dalam konteks kehidupan kita sekarang, memiliki pemimpin yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi, suara kita ikut menentukan.