Khamis, 1 November 2018

Melepaskan bai'ah atau keluar daripada Jemaah Islam

Sesungguhnya berkelompok atau berjama’ah tidaklah boleh dilepaskan dari kehidupan setiap orang dalam melasanakan segala aktiviti dan untuk memenuhi berbagai keperluannya. Karena itulah ada ungkapan bahwa berjama’ah adalah rahmat sedangkan perpecahan adalah azab.

Pada dasarnya seluruh kaum muslimin hanya diikat oleh satu jama’ah iaitu jama’atul muslimin dengan satu kepemimpinan iaitu khalifah. Jamaatul muslimin ini merupakan ikatan yang kuat didalam menjalankan hukum Allah dan syari’atNya ditengah-tengah kehidupan umat manusia sehingga menjadikan islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Inilah makna ungkapan Umar bin Al-Khatab,

"Wahai masyarakat Arab, tidak ada islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan."(HR. Bukhari)

Dan ketika jamaatul muslimin atau jama’ah yang mengikat seluruh kaum muslimin di alam ini dengan satu kepimpinan khilafah telah terwujud, maka umat islam diharuskan untuk membaiatnya serta dilarang untuk melepaskan baiatnya dari keterikatannya dengan jama’atul muslimin. Sebagaimana di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al-Yaman berkata, bahawa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, kerana aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau printahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhari)

Dari Ummu Salamah bahawa Rasulullah saw bersabda,"Kamu akan diperintah oleh para pemimpin yang kamu kenal(tidak baik) dan kamu mengingkarinya.” Mereka bertanya, "Apakah kami boleh memerangi mereka?” Beliau saw menjawab,”Jangan selama mereka masih solat.” (HR. Muslim dan Tirmidzi, beliau mengatakan hadith hasan shahih)

Demikianlah beberapa hadith diatas yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan seorang imam jama’atul muslimin di dalam diri setiap rakyatnya. Di situ juga disebutkan betapa setiap muslim harus sentiasa mengedepankan kesabaran, tidak membangkang, tetap mentaatinya dengan segenap kemampuannya walaupun seorang imam melakukan kemaksiatan selama ia masih menegakkan solat. Hadith-hadith itu melarang setiap muslim untuk meninggalkan ketaatan kepadanya atau keluar darinya dan membentuk jama’ah sendiri atau tidak berjama’ah.

Adakah Jama’atul Muslimin ketika ini?

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah jama’atul muslimin ada pada ketika ini? Bolehkah jama’ah-jama’ah pergerakan, parti-parti islam, NGO islam yang ada saat ini disebut dengan jama’atul muslimin?

Husein bin Muhammad bin Ali Jabir mengatakan bahwa sesuai dengan pengertian syar’inya maka jamaatul muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi di dunia sekarang ini. Beberapa bukti yang menunjukkan hal itu adalah :

1. Diantara alasan-alasan yang digunakannya adalah hadith yang diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman yang berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhari)

Hadith ini memberitahu akan datangnya suatu zaman kepada umat islam dimana jama’atul muslimin tidak muncul di tengah kehidupan umat islam. Seandainya ketidakmunculannya itu mustahil, niscaya dijelaskan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah. Tetapi, Rasulullah saw justru mengakui terjadinya hal tersebut dan mengarahkan Hudzaifah agar menggigit akar pohon (islam) dalam menghadapi tidak adanya Jama’atul Muslimin dan imam mereka itu.

2. Bukti lainnya yang menunjukkan tidak adanya Jama’atul Muslimin ialah adanya beberapa pemerintahan yang memerintah umat islam. Sebab, islam tidak mengakui selain satu pemerintahan yang memerintah umat islam. Bahkan islam memerintakan umat islam agar membunuh penguasa kedua secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat.

Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)

Imam Nawawi dalam menghuraikan hadits ini berkata, "Erti hadith ini ialah apabila seorang khalifah yang dibaiat setelah ada seorang khalifah maka baiat pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at kedua dinyatakan batil dan diharamkan untuk taat kepadanya.

3. Bukti lainnya adalah hadith yang diriwayatkan dari Abu Umamah al Bahiliy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)

Hadith ini jelas menyatakan akan datangnya suatu masa dimana pemerintahan dan khilafah tidak muncul. (Menuju Jama’atul Muslimin hal 42 – 46)

Sementara itu jama’ah-jama’ah pergerakan yang ada saat ini, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi, PKS, PPP, NU, Muhammadiyah atau lainnya bukanlah jama’atul muslimin namun hanyalah jama’ah minal muslimin iaitu jama’ah yang terdiri dari sekelompok kaum muslimin yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita islam berdasarkan manhaj atau metod gerakan masing-masing. Keberadaan jama’ah minal muslimin pada ketika ini atau ketika tidak adanya jama’atul muslimin sangatlah diperlukan sebagai ruh dan anak tangga dari kemunculan jama’atul muslimin sebagaimana disebutkan dalam suatu kaidah,  “Tidaklah suatu perkara wajib dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib pula.” Menegakkan khilafah atau jama’atul muslimin adalah kewajiban setiap muslim dan ia tidak akan terwujud kecuali dengan dakwah yang dilakukan secara berkelompok maka menegakkan dakwah dengan cara berjamaah (jama’ah minal muslimin) ini adalah wajib.

Sayyid Qutb mengatakan bahwa bagaimana proses kebangkitan islam dimulai sesungguhnya ia memerlukan kepada golongan perintis yang menegakkan kewajiban ini.” Ustaz Sayyid Hawwa mengatakan bahwa satu-satunya penyelesaian ialah harus menegakkan jama’ah. Ustadz Fathi Yakan mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali mengandalkan kepada kerja individual (infirodiy) tetapi sejak awal beliau telah menganjurkan penegakkan jama’ah."

Melepaskan Ba’iat atau Keluar dari Jama’ah Minal Muslimin

Tentunya sebagai sebuah jamaah yang menggabungkan sekian banyak da’i atau orang-orang yang ingin berjuang untuk islam didalamnya maka diperlukan soliditi, komitmen dan ketaatan semua anggotanya kepada pemimpin dan aturan-aturan jamaah tersebut. Untuk meneguhkan itu semua maka jamaah perlu mengambil janji setia dari setiap anggotanya yang kemudian dikenal dengan istilah baiat, sebagaimana firman Allah swt.

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS. Al Fath : 10)

Tentulah kedudukan baiat kepada imam, amir, qiyadah jama’ah minal muslimin berbeza dengan baiat kepada imam dari jama’atul muslimin disebabkan imam jama’atul muslimin dipilih oleh ahlul halli wal aqdi dari seluruh umat islam sedangkan imam dari jama’ah minal muslimin dipilih oleh majlis atau dewan syuro sebagai perwakilan seluruh anggota di jama’ah itu.

Hadith-hadith yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan baiatnya adalah terhadap imam atau khalifah dari jama’atul muslimin bukan terhadap imam dari jama’ah minal muslimin, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

Dan para pemimpin atau amir suatu jamaah minal muslimin tidaklah termasuk didalam hadith ini. Hadith ini tidak boleh diterapkan kepada para pemimpin di zaman ini atau pembesar parti (jamaah) karena setiap daripada mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.

Dengan demikian diperbolehkan bagi seseorang untuk melepaskan baiatnya dari imam atau pemimpin jama’ah minal muslimin atau keluar darinya setelah meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan yang cukup significant dalam tubuh jama’ah tersebut baik penyimpangan dalam diri qiyadah, para pemimpin, garis perjuangannya atau prinsip-prinsip pergerakannya yang dapat memberikan pengaruh negatif kepada umat, sebagaiamana hadits Rasulullah saw,"Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada dasarnya baiat yang diberikan kepada pemimpin jamaah itu adalah baiat untuk beramal islam. Artinya baiat atau janji setia diantara orang yang berbaiat dengan orang yang dibaiat. Dalam hal ini, pemimpin sebagai representasi dari jama’ah itu boleh diteruskan selama mereka komitmen dengan amal-amal islam, seperti tidak melanggar rambu-rambu akidah, berpegang teguh dengan syariah, tidak mengerjakan yang diharamkan Allah dan lainnya.

Namun hendaklah pelepasan baiat atau keluar darinya dilakukan setelah berbagai upaya megingatkan atau memberikan nasehat baik secara langsung atau pun tidak langsung baik yang telah dilakukan olehnya maupun orang-orang selainnya yang menginginkan perbaikan didalam tubuh jama’ah tidaklah diterima sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan itu terus berulang dan berulang karena agama ini tertegak diatas landasan nasihat sebagaimana hadith yang diriwayatkan dari Abu Ruqayyah bin Aus ad Dary ra menerangkan bahwa Nabi saw bersabda,"Agama itu nasihat.” Kami bertanya,”Bagi siapa?” Beliau saw menjawab,”Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslim dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)

Ketika dia memutuskan untuk melepaskan baiatnya maka hendaklah setelah itu dia mencari jama’ah minal muslimin lainnya yang diyakininya lebih baik darinya untuk boleh beramal islam secara berjama’ah meskipun hal ini bukan menjadi suatu kewajiban baginya pada masa-masa ketidakberadaan jama’atul muslimin. Akan tetapi hal ini merupakan sebagian dari keutamaan. Dan jika dirinya tidak melihat ada jama’ah minal muslimin lainnya yang lebih baik darinya maka diperbolehkan baginya untuk berdiam diri sejenak atau tidak bergabung dengan jama’ah manapun sampai dia menemukan jama’ah lainnya yang lebih baik darinya atau kembali kepada jama’ah yang ditinggalkannya itu ketika diyakini bahwa jama’ah tersebut telah kembali ke jalannya seperti sediakala.

Sumber: eramuslim.com 
Diringkaskan dan diedit: akhwat medic