Isnin, 25 Julai 2011

Indahnya Pahala Menahan Marah

Siapa yang menahan marah, padahal ia boleh melepaskan kemarahannya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya." (HR. Abu Dawud - At-Tirmidzi)

Tingkat kekuatan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeza. Ada yang mampu menghadapi kesusahan dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja dianggapnya begitu besar. Semuanya bergantung pada kekuatan ma'nawiyah (keimananan) seseorang.

Pada dasarnya, tabiat manusia yang berbagai: keras dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menghadapi orang lain dengan sikap pemaaf, tenang,dan lapang dada.

Adakalanya, kita merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina diri kita. Kemarahan kita begitu memuncak seolah jiwa kita hilang sedar. Kita merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na'udzubillah .

Menurut riwayat, ada seorang Badwi datang menghadap Nabi saw. Dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau memberinya, lalu bersabda, "Aku berbuat baik padamu."

Badwi itu berkata, "Pemberianmu tidak bagus." Para sahabat merasa tersinggung, lalu ngerumuninya dengan kemarahan. Namun, Nabi memberi isyarat agar mereka bersabar.

Kemudian, Nabi saw. pulang ke rumah. Nabi kembali dengan membawa Barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Nabi bersabda pada Badwi itu, "Aku berbuat baik padamu?"

Badwi itu berkata, "Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat."

Keesokan harinya, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, "Nah,kalau pada waktu Badwi itu berkata yang sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya. Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, karena saya layan dengan baik, maka ia selamat."

Beberapa hari setelah itu, si Badwi mau diperintah untuk melaksanakan tugas penting yang berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan redha.

Rasulullah saw memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak panik menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah sikapnya. Kalau pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal itu bukan kezaliman. Namun, Rasulullah saw. tidak berbuat demikian.

Beliau tetap sabar menghadapinya dan memberikan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, baginda ingin menunjukkan pada kita bahwa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya daripada harta benda apa pun.

Adakalanya, Rasulullah saw. juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan karena masalah pribadi melainkan karena kehormatan agama Allah.

Rasulullah saw. bersabda, "Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa),dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam)." (HR.Bukhari)

Sabdanya pula, "Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor." (HR. Turmudzi)

Seorang yang mampu mengawal nafsu ketika marahnya memuncak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan, maka orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.

Seorang hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil.

Dan, seorang pemimpin yang mudah tersalut nafsu marahnya, tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Lalu ia akan sentiasa menimbulkan sikap permusuhan dalam masyarakatnya.

Begitu juga pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Mereka tidak akan mampu melayarkan bahtera hidup. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.

Bagi orang yang imannya telah tumbuh dengan subur dalam dadanya. Maka, tumbuh pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesedaran dan kemurahan hatinya.

Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya.

Orang yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut.

Wajib baginya,melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati.Seperti, ujub dan takabur, riak, sum'ah, dusta, mengumpat dan lain sebagainya.

Dan menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan darjat yang tinggi di sisi Allah swt.

Dari Abdullah bin Shamit, Rasulullah saw. bersabda, "Apakah tiada lebih baik saya memberitahu tentang sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang?" Para sahabat menjawab, "Baik, ya Rasulullah.

Rasulullah saw bersabda, "Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu. Dan, engkau mau bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan engkau." (HR. Thabrani)


Sabdanya juga, "Bahwasanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit. Lalu, dikunci pintu langit-langit itu buatnya. Kemudian, turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pula pintu-pintu bumi itu baginya.

Kemudian, berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri. Maka, apabila tidak mendapat tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat. Bila layak dilaknat (artinya kalau benar ia berhak mendapat laknat), tetapi apabila tidak layak, maka kembali kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk)." (HR. Abu Dawud)
Back to top