Perintah Memakan Yang Halal
Tentang perintah untuk mencari yang halal
dan memakan yang halal, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah
memerintahkan kepada para RasulNya dengan firmanNya, yang artinya:
“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yangbaik-baik dan kerjakanlah
amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al-Mukminun: 51).
Maksud makan yang baik di sini adalah
yang halal. Yang demikian itu diperintahkan terlebih dahulu sebelum
mengerjakan amal shaleh, karena dengan memakan yang halal akan membantu
untuk melaksanakan amal shaleh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang larangan mendapatkan harta dengan cara yang haram, artinya: “Dan
janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara
kalian dengan cara yang batil.” (QS Al-Baqarah: 188).
Sebab Tidak Terkabulnya Do’a
Sesungguhnya manhaj Islam dalam hal
makanan adalah sebagaimana manhaj Islam dalam masalah yang lainnya untuk
menjaga akal, jiwa dan raga. Diperbolehkannya makanan yang halal adalah
karena bermanfaat bagi badan dan akal. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada para hambaNya agar meninggalkan makanan yang kotor
dan haram karena akan berpengaruh negatif terhadap hati, akhlaq dan
menghalangi hubungan dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala , serta
menyebabkan tidak terkabulnya do’a.
Dalam sebuah hadits disebutkan: Abu
Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak menerima
sesuatu kecuali yang baik.” Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kepada orang-orang beriman, seperti Dia perintahkan kepada para rasulNya
dengan firmanNya, yang artinya:
“Wahai para Rasul, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dan firmanNya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik, dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.”
Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut lagi berdebu. Orang tersebut menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Ya Tuhanku .. Ya Tuhanku ..” Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan baju yang dipakainya dari hasil yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, shahih).
“Wahai para Rasul, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dan firmanNya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari makanan yang baik-baik, dan bersyukurlah kamu kepada Allah, jika benar-benar hanya kepadaNya kamu menyembah.”
Kemudian Rasulullah menyebutkan seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut lagi berdebu. Orang tersebut menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Ya Tuhanku .. Ya Tuhanku ..” Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, dan baju yang dipakainya dari hasil yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, shahih).
Pengaruh Makanan Haram
Dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa memperoleh harta dengan cara yang haram,
kemudian ia shadaqahkan, maka tidak akan mendatangkan pahala, dan
dosanya ditimpakan kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya
dengan sanad hasan).
Ibnu Umar radhiyallah ‘anhu berkata:
“Barangsiapa membeli baju dengan sepuluh ribu dirham, namun dari sepuluh
ribu dirham tersebut ada satu dirham yang haram, maka Allah tidak
menerima amalnya selama baju itu masih menempel di tubuhnya.”
Ibnu Abbas radhiyallah ‘anhu berkata: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada sedikit makanan haram.”
Para salafus shalih sangat berhati-hati
sekali terhadap apa-apa yang akan masuk ke dalam mulut dan perut mereka.
Mereka amat bersikap wara’ di dalam menjauhi hal-hal yang syubhat
apalagi yang haram.
Dalam kitab shahih Al-Bukhari disebutkan,
‘Aisyah radhiyallah ‘anha menceritakan bahwa Abu Bakar mempunyai
pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu kali pembantu
tersebut membawa makanan maka iapun memakannya. Setelah tahu bahwa
makanan tersebut didapatkan dengan cara yang haram, maka dengan serta
merta ia masukkan jari tangannya ke kerongkongan, kemudian ia muntahkan
kembali makanan yang baru saja masuk ke dalam perutnya.
Imam An-Nawawi ketika hidup di negeri
Syam, ia tidak mau memakan buah-buahan di negeri tersebut. Tatkala orang
menanyakan tentang sebabnya, maka ia menjawab: Di sana ada kebun-kebun
wakaf yang telah hilang, maka saya khawatir memakan buah-buahan dari
kebun tersebut.
Makanan haram bisa disebabkan memang
dzatnya yang haram, seperti: bangkai, daging babi, darah dan sebagainya.
Atau karena haram cara mendapatkannya, seperti dengan cara mencuri,
riba, curang dalam jual beli, korupsi, suap dan lain sebagainya.
Praktek-praktek mendapatkan harta dengan cara yang haram dapat dengan
mudah kita saksikan di zaman ini. Perampokan, penipuan, riba, korupsi,
kolusi dan yang lainnya hampir-hampir selalu diekspos tiap hari oleh
koran-koran dan televisi atau media lainnya. Seolah-olah hal ini sudah
merupakan masalah yang biasa. Segala macam cara akan digunakan manusia
dalam rangka untuk mendapatkan harta yang sebanyak-banyaknya.
Rasulullah telah bersabda: “Akan datang
suatu zaman, sese-orang tidak akan peduli terhadap apa yang ia ambil,
apakah itu halal atau haram.” (HR. Bukhari).
Padahal harta yang haram itu selain
berdampak tidak terkabulnya do’a dan ditolaknya amal, ia juga merupakan
sebab mendapatkan adzab Allah di akhirat nanti. Dalam sebuah hadits
shahih disebutkan bahwa tidak bergerak dua telapak kaki anak cucu Adam
di hari kiamat nanti sampai ditanya (salah satunya) tentang hartanya
darimana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan. (untuk matan lengkapnya
lihat Sunan At-Tirmidzi, hadits no.2417).