Khamis, 13 Oktober 2016
Tanggungjawab Dalam Menerapkan Sistem Hukum Islam Menjadi Tanggungjawab Jamaah.
Jika seorang Muslim dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu antara permasalahan dirinya sendiri dengan permasalahan umat, maka sudah seharusnya ia mendahulukan permasalahan yang dihadapi oleh umat. Sikap mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya pribadi merupakan sikap mulia dan termasuk ke dalam bentuk pemikiran yang bernilai tinggi. Sedemikian besar perhatian Islam terhadap permasalahan umat, Islam sampai menggolongkan orang yang tidak peduli dengan permasalahan umat sebagai orang yang tidak berguna, dan tidak tergolong ke dalam kelompok umat Muhammad. Rasulullah Saw:
Siapa saja yang bangun pagi, sementara ia hanya memberi perhatian kepada masalah dunianya, maka ia tidak berguna apa-apa di sisi Allah. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidaklah termasuk golongan mereka. [HR. ath-Thabrani daripada Abu Zar al-Ghifari].
Islam tidak pernah membiarkan salah seorang dari para penganutnya bebas dari tanggung jawab. Sebaliknya, Islam memberikan kepada mereka beban tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitinya sebagai manusia, jika ia telah mencapai status akil baligh. Rasulullah Saw bersabda:
Ketahuilah, bahawa setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Setiap kepala negara adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang lelaki (suami) adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang wanita (isteri) adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang pelayan / hamba sahaya adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas kepe-mimpinannya. Ketahuilah, bahawa setiap kamu adalah pemimpin dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kepemim-pinannya. [HR. al-Bukhari Muslim].
Tanggung jawab semacam ini, bisa semakin luas boleh pula semakin sempit, sesuai dengan keadaan yang dibebankan kepadanya. Jika orang yang menerima hukum taklif (beban hukum) boleh melakukannya sendiri, misalnya beban untuk menyara isteri dan anak-anaknya, atau memberi makan kepada jirannya yang kelaparan, atau menolong orang-orang yang menderita; maka beban tersebut menjadi tanggung jawab individu. Sebab, skop aktivitinya masih dalam jangkauan kemampuan seseorang untuk berbuat.
Tanggungjawab Individu, Umat, Dan Negara
Namun demikian, jika seorang individu tidak dapat menjalankannya, kecuali bersama-sama dengan jamaah kaum Muslim, atau hukum Islam telah membebankan suatu perkara kepada jamaah -misalnya saja mengemban dakwah Islam untuk menegakkan Khilafah Islamiyah dalam rangka menerapkan syariat Islam, atau melakukan koreksi (muhâsabah) terhadap penguasa, atau melaksanakan jihad fi sabilillah- dalam keadaan seperti ini, liputan tanggung jawabnya meluas hingga harus dipikul oleh jamaah kaum Muslim, atau oleh institusi negara (Khilafah Islamiyah).
Sebahagian besar daripada beban hukum yang telah diberikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya kepada kaum Muslim tidaklah merupakan tanggung jawab seorang individu Muslim. Bahkan, sebahagian besar sistem undang-undang Islam - dalam hal pelaksanaan praktisnya - dibebankan kepada negara sebagai pihak yang mengatur, memelihara, dan menjaga umat dalam menjalankan sistem undang-undang Islam. Siapa yang mampu mengatur pelaksanaan sistem ekonomi Islam, sistem sosial Islam, sistem ketenteraan Islam, sistem pendidikan Islam, sistem politik luar negeri Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem kehakiman Islam, dan sebagainya? Tentu bukan individu Muslim, melainkan negara (penguasa dan seluruh kakitangan pemerintahannya).
Oleh kerana itu, tanggung jawab dalam melaksanakan sistem undang-undang Islam menjadi tanggung jawab jamaah (yaitu seluruh kaum Muslim dan penguasa), bukan tanggung jawab individu. Demikian pula dengan kewajiban kaum Muslim untuk mengemban dakwah Islam. Kewajiban ini bukan sahaja harus dijalankan oleh seorang individu Muslim, melainkan oleh seluruh kaum Muslim, termasuk negara (penguasa). Kewajiban ini sama-sama menimpa seorang Muslim yang faqih maupun yang awam, perempuan maupun lelaki, individu mahupun masyarakat dan negara.
Sasaran beban dakwah yang bukan sahaja merangkumi tanggung jawab individu tetapi juga menjadi tanaggung jawab jamaah dan bahkan negara (penguasa), sangat tampak dalam nash-nash berikut ini:
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk golongan kaum Muslim"? (Qs. Fushshilat [41]: 33).
Ayat di atas ditujukan kepada individu Muslim, siapa pun orangnya, untuk menjalankan aktiviti dakwah Islam.
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang mengajak pada kebajikan (Islam), memerintahkan yang makruf, dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. Ali-Imraan [3]: 104).
Ayat ini ditujukan kepada sekelompok kaum Muslim -sebagai sebuah jamaah- untuk menjalankan aktiviti dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar.
Dalam suatu hadis disebutkan demikian:
Rasulullah saw tidak pernah memerangi suatu kaum melainkan sesudah terlebih dulu menyampaikan dakwah Islam kepada mereka. [HR. Ahmad, al-Hakim, dan ath-Thabrani].
Hadis ini menjelaskan kedudukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara (penguasa) yang menjalankan aktiviti dakwah terlebih dulu (yaitu mengajak orang-orang kafir agar memeluk Islam atau bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam), sebelum -jika mereka menolak-melakukan jihad fi sabilillah untuk membuka dan mengubah Darul Kufur menjadi Darul Islam.
Walhasil, tanggung jawab umat Islam dalam mengemban dakwah dapat disimpulkan pada dua keadaan: (1) Jika kaum Muslim telah menjalankan sistem hukum Islam dan Daulah Islam telah berdiri berdasarkan akidah Islam, maka mereka wajib menyampaikan dakwah Islam kepada orang-orang kafir yang ada di pelbagai negara. (2) Jika kaum Muslim belum dapat menjalankan sistem hukum Islam secara total, dan Daulah Islam belum tegak, maka kewajiban yang utama atas kaum Muslim adalah mengemban dakwah Islam dalam rangka melanjutkan kehidupan Islam yang telah lenyap, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islam yang berdiri berasaskan akidah Islam dan yang akan melaksanakan sistem hukum Islam secara total.
Bahaya yang Mengancam Eksistensi Kaum Muslim
Pada masa ini, kaum Muslim berada dalam lingkungan masyarakat yang menganut berbagai pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran Islam. Bahaya-bahaya yang mengancam tubuh kaum Muslim berasal dari luar (luaran) maupun berasal dari dalam (internal) kaum Muslim. Bahaya-bahaya itu antara lain:
A. Bahaya luaran, termasuk: (1) Berkembangnya pemikiran-pemikiran yang berasal dari peradaban Barat yang menekankan doktrin pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). (2) Pemikiran Komunisme atau Sosialisme yang menolak adanya unsur agama dan mengatakan bahawa agama adalah candu yang membahayakan masyarakat. (3) Pemikiran-pemikiran lain yang membahayakan aqidah Islam dan syariatnya yang berasal dari Barat seperti: nasionalisme, demokrasi, pluralisme, liberalisme, dan yang sejenisnya.
B. Bahaya dalaman, termasuk muncul dan berkembangnya gerakan-gerakan penghancur seperti Ahmadiyah, Baha'iyah, aliran kebatinan, inkarus sunnah, freemasonry, ideologi Dunia Ketiga (yang dikembangkan oleh Gaddafi di Libya), dan sebagainya.
Semua itu muncul sebagai akibat dari serangan pemikiran (ghazw al-fikr) yang dilontarkan oleh Dunia Barat yang kafir kepada kaum Muslim. Di samping itu, serangan-serangan dalam wujud manuver politik, ekonomi, sehingga tentera terus melanda negeri-negeri kaum Muslim hingga saat ini; tanpa dapat dibendung lagi oleh kaum Muslim. Selain itu, identiti kaum Muslim yang mempunyai standard pemikiran yang merujuk pada akidahnya yang jernih dan syariatnya yang agung lambat laun lenyap; peranannya digantikan oleh akal, faktor kemaslahatan, adat istiadat, tradisi, bahkan hawa nafsu semata. Mereka tidak lagi menjadikan halal-haram sebagai tolok ukurnya.
Jika hal ini dibiarkan, sementara kaum Muslim melepas tanggung jawabnya dan tidak peduli dengan keadaan yang melanda mereka, maka kehancuran umat ini hanya soal waktu.
Tanggung Jawab Kaum Muslim Saat Ini
Dalam rangka merealisasikan penubuhan Negara Khilafah -yang akan menjamin dilanjutkannya kembali kehidupan Islam, melaksanakan seluruh sistem hukum Islam secara total, serta mengemban dakwah Islam ke luar negeri dengan jalan dakwah dan jihad- maka harus ada pertarungan pemikiran (ash-shira 'al-Fikri) untuk menghancurkan dan melenyapkan seluruh pemikiran kufur yang betolak belakang dengan akidah dan syariat Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim dapat mencari kembali pemikiran-pemikiran Islam yang mampu mengatasi seluruh permasalahan kehidupan manusia, sekaligus mencampakkan seluruh bentuk pemikiran kufur yang bertentangan dengan Islam dan nyata-nyata telah menjadi standard sebahagian besar kaum Muslim di seluruh dunia.
Pertarungan pemikiran dilakukan dengan cara mengungkap kerosakan, kekeliruan, kelemahan, dan ketidakupayaan pemikiran-pemikiran kufur tersebut, yang memang tidak layak dijadikan tolok ukur bagi kaum Muslim dalam menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Dalam masa yang sama, harus dijelaskan keagungan pemikiran Islam, terutama sebagai pemikiran praktikal yang layak dijadikan satu-satunya kayu pengukur bagi seluruh umat manusia.
Di samping itu, hal ini memerlukan perjuangan politik (al-kifah as-siyasi) yang sungguh-sungguh dari segenap kaum Muslim. Dengan itu, matlamat utamanya, iaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam, boleh tercapai. Perjuangan politik tersebut dilakukan dengan jalan:
1. mendedahkan setiap kesalahan yang dilakukan oleh negara-negara imperialis, termasuk tindakan-tindakan jenayah dan persekongkolan jahat mereka terhadap kaum Muslim.
2. Menjelaskan berbagai bahaya kecurangan politik yang diterapkan secara paksa atas negeri-negeri kaum Muslim.
3. Mengungkap hakikat oknum-oknum penguasa yang menjadi antek-antek musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
4. Menjelaskan hakikat tokoh-tokoh politik yang menentang Islam dan bersikap munafik, baik yang berasal dari kalangan parti-parti politik, pegawai kerajaan, ataupun intelektual Muslim yang selalu menyesatkan kaum Muslim, memutarbelitkan fakta, dan mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan.
5. Menjatuhkan martabat kepimpinan beserta peribadi para tokoh yang aktivitinya hanya menyesatkan umat Islam.
Dalam menjalankan aktiviti pergelutan pemikiran dan perjuangan politik ini (ash-shira 'al-Fikri wa al-Kifah as-siyasi) ini, kaum Muslim tidak dibenarkan bermanis muka terhadap musuh-musuh Islam dan seluruh kaki tangan mereka. Allah SWT telah melarang Rasulullah Saw bersikap lemah lembut dan bermanis muka terhadap musuh-musuh Islam. Allah SWT berfirman:
Janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula) kepadamu. (Qs. Al-Qalam [68]: 8-9).
Perjuangan politik harus terus dilakukan hingga para penguasa bersedia tunduk kepada Islam, sekaligus rela meninggalkan kezaliman, pengkhianatan, dan persekongkolan dengan musuh-musuh Islam. Aktiviti perjuangan politik ini mesti terus dilakukan walaupun menghadapi pelbagai cabaran, kesulitan, dan bahaya yang boleh mengorbankan harta maupun jiwa.
Tanpa kesedaran politik, pertarungan pemikiran, dan perjuangan politik, maka para pengembang dakwah Islam tidak akan menyedari permasalahan umat yang sebenarnya. Artinya, mereka tidak akan menjumpai jalan keluar daripada masalah-masalah yang dihadapi umat Islam. Mereka juga pasti tidak akan mampu mengatur dan memelihara urusan-urusan umat, jika (pada suatu saat)roda pemerintahan dipindahkan dan diberikan kepada mereka.
Dengan demikian, selama seorang pengemban dakwah tidak berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Islamnya yang jernih serta berusaha mempunyai kesedaran politik yang tinggi dengan manjalankan aktiviti pergelutan pemikiran dan perjuangan politik, maka tidak mungkin ia menjadi pemimpin umat. Ia hanya mampu menjadi seorang pengajar, khatib, syaikh, dan sebagainya.