Keutamaan pandangan kepada wajah seorang Ulama banyak sekali, di antaranya sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:
"Barang siapa memandang kepada wajah orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Allah menjadikan pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat".
Imam Al-Hafizh Al-Mundziri meriwayatkan sebuah hadits dari 40 hadits berkenaan dengan keutamaan menuntut ilmu, yakni bersabda Rasulullah SAW:
"Pandangan sekali kepada orang Alim lebih Allah cintai daripada ibadah 60 tahun, berpuasa siang harinya dan berdiri ibadah pada malamnya". Kemudian sabda beliau SAW: "Jika tiada Ulama niscaya binasa (celaka)lah umatku".
Hadits tersebut menunjukkan betapa besarnya keutamaan memandang wajah orang Alim secara lahiriyyah, dikarenakan seseorang yang melakukannya akan mendapat pengaruh kekhusyu'an dan ketenangan hati sehingga mendorongnya kepada Hubbul Akhirah. Tidak semua Ulama dikategorikan seperti makna hadits di atas, karena kata ‘Ulama' menggunakan Isim Makrifah (Al-'Ulamaa-u), yang menandakan ketertentuan/kekhususan. Tentunya Ulama yang dimaksud di sini adalah Ulama yang telah mencapai kemakrifatan yang Hakiki, dimana pancaran jiwanya mampu melenyapkan sekat-sekat yang menutupi hati.
Maka Rabithah, yakni memandang wajah Syekh dengan mata hati lebih diutamakan dan memiliki tempat yang khusus di kalangan Ahli-ahli Thariqat, sebagai penyatuan ruhaniyah seorang murid yang dhaif lagi faqir, dengan Syekhnya yang kamil menuju Hadhrat Allah Ta'ala.
Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian ahli dzikir yang dapat menyebabkan orang lain ingat kepada Allah. Yakni dengan memandang wajahnya saja, membuat mereka teringat untuk dzikrullah.
Hadits lain menyebutkan bahwa ‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang apabila orang lain memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Allah, jika mendengar ucapannya maka bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya maka tertariklah pada akhirat'.[3] Atas dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syekh Shufi) terdahulu sangat menganjurkan untuk senantiasa mengenang wajah Syekhnya sebagai alat untuk mempermudah dzikir (ingat) kepada Allah SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.
Berkata Syekh Mushthafa Al-Bakri Rahimahullaahu Ta'ala:
"Dan di antara apa yang diwajibkan atas seorang murid adalah rabithah hatinya dengan Gurunya dan maknanya bahwa murid senantiasa mengekalkan atas penyaksian akan rupa Syekhnya. Inilah merupakan syarat yang dianjurkan bagi kaum Shufi yang mewariskan kepada maqam makrifat yang tinggi".
(Hidayatus Salikin)
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR'ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia')