Khamis, 31 Ogos 2017
Doa Ketika Di Tanah Suci dan Wukuf Di Arafah
Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar.
A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim
Bismillaahir-rahmaanir-rahiim
Alhamdu lillaahi rabbil-‘aalamiin
Subhanallah walhamdulillah wa lailaha ilallahu wallahuakbar.
Tak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar, tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya lah kerajaan dan bagi-Nya pula puja dan puji, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan selain Allah dan tiada daya dan upaya serta tak ada kekuatan selain dengan Allah jua.
Laa ilaaha illallahu wallaahu akbaru,
laa illaaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiirun,
laa ilaaha illallaahu wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karena sesungguhnya bagi-Mu puja dan puji, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Yang Maha Pemberi, yang menjadi harapan, Yang Mencipta langit dan bumi, Yang Maha Luhur dan Maha Mulia.
Allahumma inni as’aluka bi’anna lakalhamda laa ilaaha illaa anta yaa hannaanu yaa mannanu yaa badii’assamaawaati wal’ardhi yaa dzaljalaali wal’ikraam
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas junjungan kami nabi Muhammad, shalawat yang dapat menyelamatkan kami dari segala huru-hara (akhirat) dan afat, dapat memberikan hajat (kebaikan) kepada kami, dapat membersihkan kami dari kejelekan, dapat mengangkat kami ke derajat yang lebih tinggi di hadapan Engkau, dapat membawa kami menuju kebajikan yang paling baik semasa kami hidup maupun sesudah mati. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas makhluk-Nya yang paling baik yaitu junjungan kami Muhammad, semua keluarga dan para sahabat beliau.
Allahumma shalli ‘alaa sayyidina muhammadin shalaatan tunjiinaa bihaa min jamii-‘il ahwaali wal aafaati wa taqdlii lanaa bihaa min jamii-‘il haajaati wa tuthahhirunaa bihaa min jamii-‘is sayyi-aati wa tarfa-‘unaa bihaa ‘indaka a’lad darajaati wa tuballighunaa bihaa aqshal ghaayaati min jamii-‘il khairaati fil hayaati wa ba’dal mamaati wa shallallahu ‘alaa khairi khalqihi sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallama
Aku mohon ampun segala dosaku kpd Allah Yang Maha Agung (3–10X)
Astaghfirullaahal ‘azhiiim (3–10 X)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkau ciptakan aku, dan aku hamba-Mu, dan aku memenuhi janji dan ikatan kepada-Mu, aku berusaha memenuhinya dengan segala kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan-kejelekan yang aku perbuat. Aku sadar akan nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan aku sadar akan dosaku, karena itulah ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosaku selain Engkau.
Allahumma anta rabbi. Laa ilaaha illaa anta khalaqtanii wa ana ‘abduka wa ana ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu, a’ududzu bika min syarri maa shana’tu abuu’u laka bini’matika ‘alayya wa abuu’u bidzanbii faghfirlii fa’innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta
Ya Tuhan kami, (selama ini) kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni kami, pastilah kami ini tergolong orang yang merugi.
Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, serta wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik. Tiada Tuhan selain-Mu, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang zhalim.
Ya Allah, ampunilah dosaku semuanya, baik yang halus dan yang kasar, yang terdahulu dan terkemudian, yang nyata dan yang tersembunyi. (HR Muslim, Abu Daud dan Hakim)
Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa illam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khasiriin. Rabbanaaghfir lanaa dzunuubana wa kaffir ‘annaa sayyi’aatina wataffanaa ma’al abraari. Laa illaaha illaa anta subhaanaka innii kunu minazhzhalimiin.
Allahummaghfir lii dzambii kullahu diqqahu wa jillahu wa awwalahu wa aakhirahu wa ‘alaaniyatahu wa sirrahu.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, sedemikian banyak dosa yang telah kami lakukan sejak kami akil- baligh hingga hari ini. Dosa kami ketika kami remaja yang sering menyusahkan orang tua kami dan guru-guru kami, membuat sedih mereka, membohongi mereka dan tidak menghormati mereka. Tidak pula kami mensyukuri kepada-Mu atas nikmat memiliki orang tua yang baik dan menyayangi kami. Ampunilah kami ya Allah, sungguh kami lebih beruntung dibanding anak-anak lain yang dibesarkan tanpa orang tua atau memiliki orang tua tapi tidak peduli dengan anaknya.
Ampuni pula dosa-dosa kami ketika remaja yang hampir tak pernah kami mengingat-Mu setiap hari, padahal saat itu Engkau telah mulai mencatat dan mengumpulkan setiap dosa-dosa kami. Ampunilah kemalasan kami dalam melakukan sholat pada masa lalu kami, ampunilah kebodohan kami saat itu yang lebih takut pada kehilangan teman dan pergaulan daripada bergantung kepada Engkau. Ampuni pula pergaulan kami selama remaja yang jauh dari nilai-nilai agama dan sering menyakitkan hati orang lain sedangkan kami sering melakukannya tanpa rasa bersalah.
Ampuni pula dosa-dosa kami semasa kami bekerja dan berkeluarga. Sungguh kini kami menyadari bahwa tak ada ridho dan pahala dari-Mu untuk setiap kelelahan kami bekerja selama ini bila tidak didasari niat karena mencari keridhoan-Mu. Sedemikian banyak pekerjaan yang kami lakukan hanya dengan niat mencari uang atau karena takut miskin dan bukan karena mencari keridhoan-Mu, padahal Engkau hanya menyuruh kami bekerja sedangkan masalah rezeki dan kaya-miskin semuanya Engkaulah yang memutuskan. Sering kami lebih takut pada atasan kami dan pada keterburu-buruan kami dibanding rasa takut kami pada-Mu dalam menegakkan sholat, padahal Engkau telah mempersiapkan neraka yang sedemikian dahsyatnya untuk orang-orang yang meninggalkan atau menyia-nyiakan sholat. Ya Allah seandainya Engkau telah mempersiapkan hukuman 1 tahun di neraka untuk setiap 1 kali sholat yang kami tinggalkan atau yang belum sempurna, maka harus berapa ribu tahun kami di neraka untuk mengganti ribuan sholat yang telah kami tinggalkan atau kami laksanakan dengan tidak sempurna selama hidup kami sejak kami akil-baligh. Karena itu ampunilah dosa-dosa kami ya Allah, siapa lagi yang dapat mengampuni kami kalau bukan Engkau ya Allah.
Ya Allah, apabila dihitung mungkin akan ada sedemikian banyak barang atau uang atau waktu terbuang yang kugunakan tidak dijalan yang Engkau ridhoi, atau kadang sering pula aku membenarkan suatu perbuatan dzalim dan bahkan menganggapnya sebagai hakku. Selama itu aku jarang mengingat-Mu dan malah berbuat banyak dosa. Ampunilah semua dosa-dosaku ya Allah, ampunilah ya Allah.
Ampuni pula kelalaian kami dalam mengurus rumah tangga kami, kebodohan kami dalam berperilaku dalam keluarga kami. Ampunilah sikap kami yang sering mengecewakan suami / istri kami, membuat sedih hatinya, tidak menghormatinya, tidak mengurusnya dengan baik, dan tidak membimbingnya dengan baik menuju jalan Islam yang telah engkau syariatkan.
Ya Allah ampunilah mata kami yang lebih sering kami gunakan untuk melihat hal-hal yang tak berguna atau hal yang maksiat dan hal-hal yang Engkau murkai, padahal kalau Engkau takdirkan kami buta maka sungguh kami akan menjadi makhluk yang lemah tak berdaya. Ya Allah ampuni pula mulut kami yang sering menyakitkan perasaan orang lain, yang sering membohongi orang lain, yang sering mengajak orang lain berbuat dosa dengan kami sadari atau tidak kami sadari, dengan mulut ini pula kami sering membicarakan ghibah dan fitnah yang hukumannya sangat dahsyat, dengan mulut ini pula kami menyampaikan kesombongan, ketamakan, kekikiran dan ke-riya’an diri kami. Ampunilah seluruh kata dan perbuatan buruk yang pernah keluar dari mulut kami ini.
Ya Allah ampuni pula telinga kami yang selama ini tidak mendengarkan suara-suara yang baik, seperti ucapan-ucapan bijak para ulama, nasihat agama dalam ceramah agama dan mendengarkan ayat-ayat Al-Quran. Apajadinya diri kami ini bila Engkau tulikan pendengaran kami. Padahal itu begitu mudah bagi-Mu.
Ya Allah, ampunilah tangan kami yang sering menjadi kikir dalam memberikan sedekah kepada orang lain, yang jarang digunakan untuk menuliskan kebaikan-kebaikan untuk orang lain. Apajadinya kalau Engkau ambil tangan kami ini dari tubuh kami. Ampuni kaki kami yang lebih banyak digunakan menuju tempat-tempat kemewahan dan kepentingan duniawi dan jarang digunakan untuk menuju ke mesjid dan pengajian. Apajadinya kalau Engkau ambil kaki ini dari tubuh kami. Ya Allah, jadikanlah kaki kami ini lebih rajin mengunjungi orang-orang saleh, menghadiri majlis-majlis ilmu, mendamaikan orang, menyambung silaturahmi, melaksanakan jihad, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menentramkan hati dan memperkuat iman kami.
Ampuni syahwat kami yang sering sulit kami kendalikan, sedemikian lemahnya kami menghindarkan pandangan dan syahwat dari lawan jenis kami yang semakin bebas berkeliaran di zaman ini. Ampunilah diri kami ya Allah, kuatkanlah iman kami dari maksiat syahwat.
Ya Allah, ampunilah kesombongan kami akan akal dan otak kami yang sering menjadikan kami merasa paling cerdas. Padahal sungguh begitu mudah bagi-Mu untuk menjadikan kami bodoh atau gila. Padahal Engkau sangat membenci kesombongan, apalagi kesombongan akal. Padahal orang yang paling cerdas menurut-Mu adalah orang yang paling banyak bertaqwa. Ampunilah kebodohan dan kesombongan kami ya Allah, beri kesempatan kami untuk bertobat, hapuskanlah seluruh dosa-dosa kami.
Alangkah bodohnya kami ya Allah, padahal ilmu kami sangat sedikit tapi sering kami merasa sudah berbuat yang terbaik. Tambahkanlah ilmu (agama) kami ya Allah supaya kami dapat membedakan mana perilaku kami yang sudah baik dan mana yang masih buruk. Janganlah Engkau golongkan kami kepada golongan orang-orang yang bodoh tapi merasa paling benar, atau orang yang sebenarnya malas tapi selalu merasa perlu banyak istirahat, jangan pula menjadi orang yang sebenarnya sombong karena merasa lebih mampu dibanding orang lain, jangan pula kami menjadi orang yang kikir hanya karena merasa ada keperluan lain yang lebih penting atau karena kami takut lapar dan takut miskin, jangan pula kami menjadi riya’ karena lebih membutuhkan pujian orang lain.
Ya Allah, sungguh kami lupa mengingat semua dosa-dosa kami yang sedemikian banyaknya selama hidup kami. Kamipun sering sedemikian bodohnya, sehingga banyak dosa-dosa yang kami anggap kecil atau tidak ada padahal Engkau telah mencatatnya sebagai dosa-dosa besar, Ya Allah sesungguhnya Engkau lebih mengetahui dosa-dosa yang telah kami lakukan, ampunilah semua dosa-dosa kami, baik yang kami ingat maupun yang telah kami lupa, yang sengaja ataupun yang tak sengaja, yang besar maupun yang kecil, yang dulu maupun yang akan datang, seluruhnya ya Allah. Jangan ada tersisa sedikitpun ya Allah.
Ya Allah ampunilah dosa syirik besar maupun kecil yang pernah kulakukan. Aku tahu dosa syirik takkan terampuni karena itu hapuskanlah dosa-dosa syirik itu dari daftar dosa yang telah Engkau catat. Hapuskanlah ya Allah. Janganlah sampai aku terjebak lagi dalam syirik, bukakanlah mataku untuk membedakan mana yang syirik dan mana yang tidak, kuatkanlah imanku untuk menjauhkan syirik sejauh-jauhnya, kuatkan imanku ya Allah, dan kuatkanlah kesabaranku walau aku menghadapi ujian yang sangat berat sekalipun. Kuatkanlah aqidahku ya Allah, bersihkan qolbuku, tambahkan ilmu agamaku, ilmu yang bermanfaat, bersihkan niatku dari riya, amin ya rabbil alamin.
Ya Allah ampunilah dosa-dosa yang pernah kami lakukan pada umat dan makhluk-Mu. Ampunilah perbuatan jahat, laknat, maksiat, zhalim dan hal-hal lain yang Engkau murkai yang pernah kulakukan kepada umat manusia lainnya, baik laki2, perempuan dan anak-anak, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Ampunilah rasa malu dan kesulitanku untuk memohon maaf kepada mereka satu per satu, bukalah pintu maaf orang yang pernah kuzhalimi untuk diriku. Gugurkanlah setiap dosaku kepada mereka setiapkali mereka sedang mengingatku atau mengingat kesalahanku pada mereka.
Jadikanlah doa kami ini menjadi pertobatan kami yang taubatan nasuha. Bimbinglah dan tunjukilah kami jalan yang baik untuk hari-hari selanjutnya untuk tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang Engkau golongkan dosa kecil apalagi dosa besar.
Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tua kami serta kasihilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil
Rabbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa (3-10X)
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, rendahkanlah suaraku dimata mereka, indahkan bicaraku dimata mereka, lembutkan tingkah lakuku di mata mereka, rindukan mereka akan hatiku, jadikanlah aku orang yang mengasihi dan menyayangi mereka. Ya Allah, berikan pahala kepada mereka atas upaya mereka mendidikku, limpahkan karunia-Mu atas pemberian mereka padaku, dan jagalah mereka sebagaimana mereka menjagaku semasa aku kecil.
Allahumma khaffidh lahuma shawti, wa athib lahuma kalami, wa alin lahuma’arikati, wa’thif ‘alayhima qalbi, wa shayyirni bihima rafiqan wa ‘alayhima syafiqan. Allahummasykur lahuma tarbiyati, wa atsib huma ala takrimati, wahfazh lahuma ma hafizhahu minni fi shighari.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami istri dan keturunan yang dapat menjadi penyenang hati bagi kami dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS, al-Furqan, 25:74)
Rabbannaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Duhai Yang Maha Mengasihi dan Menyayangi umat manusia. Karuniakanlah kami keluarga yang sakinah, keluarga yang soleh dan bertaqwa, keluarga yang sangat mencintai diri-Mu dengan penuh makna dan ikhlas, keluarga yang bahagia, damai, harmonis, tenteram, tawadhu, sabar dan santun. Karuniakanlah kepada keluarga kami kesehatan, keamanan, kemudahan, kemuliaan, kehormatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, keimanan serta dijauhkan dari tekanan utang, sifat kikir dan sifat boros. Jauhkanlah segala macam penyakit fisik dan psikis dari diri kami, kedua orang tua kami dan keluarga kami. Jadikan hari tua dan akhir hidup kami dan orang tua kami penuh kebahagiaan, kesehatan dan kedamaian, dan kuatkan iman kami semua disaat sakaratulmaut. Kuatkanlah keimanan dan perbanyaklah amal dan ibadah kami, kedua orang tua kami dan kami sekeluarga, baik saat kami lemah dan tua serta di detik-detik terakhir kehidupan kami. Karuniakanlah kami sekeluarga dan orang tua kami akhir hidup yang indah, khusnul khatimah ya Allah. Kumpulkanlah kami sekeluarga dan kedua orang tua kami beserta seluruh sanak saudara kami di surga-Mu ya Allah. Kumpulkanlah kami bersama-sama Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang mulia serta keluarganya yang sabar dan pandai mensyukuri. Haramkan neraka bagi kulit kami ya Allah.
Ya Allah ampunilah kesalahan kami, kelalaian kami dan kekurangan kami dalam melayani kedua orang tua kami, ampuni perbuatan kami yang sengaja atau tak sengaja yang telah banyak menyusahkan dan membebani pikiran kedua orang tua kami sehingga mengurangi kebahagiaan mereka.
Ya Allah, ampunilah kesalahan dan kebodohan kami dalam memelihara keluarga kami. Berilah kami petunjuk dan kemudahan dalam membesarkan dan mendidik anak-keturunan kami. Sehatkanlah kami, sehatkanlah anak kami. Ya Allah karuniakanlah usia yang panjang, kesehatan dan kekuatan mental dan fisik, kehormatan, kemuliaan, kecerdasan, kebahagiaan dan kesejahteraan kepada anak-keturunan kami. Jadikanlah anak keturunan kami menjadi umat-Mu yang sholeh / sholihah dan bertaqwa, ikhlaskan hatinya untuk menjaga kami saat kami tua dan lemah, yang rajin mendoakan kebaikan kepada kami/orangtuanya saat kami hidup dan saat kami / orangtuanya telah meninggal dunia. Ya Allah, perbanyaklah sebanyak-banyaknya jumlah umat muslim yang ikhlas menjaga dan memperhatikan kami saat kami lemah dan tua, serta mendoakan kami setelah kami meninggal dunia.
Ya Allah, berilah padaku rezki yang halal dan baik, serta pakaikanlah padaku segala perbuatan yang baik. Ya Tuhanku, jadikanlah oleh-Mu rezkiku itu paling luas pada saat tuaku dan saat lemahku. Ya Allah, cukupkanlah bagiku segala rezki-Mu yang halal daripada yang haram, dan kayakanlah aku dengan karunia-Mu dari yang lainnya. Ya Allah, aku mohonkan pada-Mu rezki yang luas dan berguna. Ya Allah, aku mohonkan pada-Mu nikmat yang kekal yang tidak putus-putus dan tidak akan hilang.
Allahummarzuqnii rizqan halaalan thayyiban wasta’milnii thayyiban. Allahummaj’al ausa’a rizqika ‘alayya ‘inda kibari sinnii
wangqithaa’i umrii.
Allahummakfinii bihalaalika ‘an haraamika wa aghninii bifadhlika ‘amman siwaak. Allahumma inni as’aluka rizqan waasi’an naafi’an. Allahumma innii as’alukan na’iimal muqiimalladzii laa yahuulu wa laa yazuul.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, baguskanlah untukku agamaku yang jadi pangkal urusanku, baguskan pula duniaku yang jadi tempat penghidupanku, dan baguskanlah akhiratku yang padanya tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup itu menjadi bekal/tambahan bagiku dalam segala kebaikan, serta jadikanlah mati itu pelepas segala keburukan bagiku.
Allahumma ashlih lii fii diiniilladzii huwa ‘ishmatu amrii wa ashlih lii dun-yaayallatii fiihaa ma’aasyi wa ashlih lii aakhiratillatii fiihaa ma’aadii waj’alil hayaata ziyaadatan lii fii kulli kharin waj’alil mauta raahatan lii mingkulli syarrin
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kemurungan dan kesusahan, aku berlindung pada-Mu dari kemalasan dan aku berlindung pada-Mu dari ketakutan dan kekikiran, aku berlindung pada-Mu dari tekanan utang dan paksaan orang lain
Allaahumma inni a’uudzu bika minal hammi wal hazani wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasali wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhli wa a’uudzu bika min ghalabatiddaini wa qahrirrijaal
Ya Allah, aku mohonkan pada-Mu jiwa yang tenang tenteram, yang percaya pada pertemuan dengan-Mu dan ridha atas keputusan-Mu serta merasa cukup puas dengan pemberian-Mu.
Allahumma innii as-‘aluka nafsan muthma’innatan tu’minu biliqaa’ika wa tardhaa biqadhaa’ika wa taqna’u bi’athaa’ika
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, Yang Menguasai setiap takdir dan rezeki manusia, kuatkanlah fisikku, kuatkan mentalku, kuatkanlah ikhtiarku, kuatkan kemauanku, lindungilah kesucian hatiku dan tingkahlaku pada setiap langkah hidupku, lindungilah diriku dari rasa malas dan putus asa serta dari sifat kikir dan boros, jauhkanlah syaitan dan jin dari setiap langkah hidupku.
Ya Allah, Yang Mengatur rezeki setiap manusia, Yang Maha Pemberi kemudahan, Yang Maha Mengetahui akan setiap jalan yang baik dan benar. Karuniakanlah aku kemudahan dan kebaikan dalam menggunakan lidahku, hatiku dan fisikku dalam berkomunikasi dan bersilaturahim dengan semua umat manusia, dan mudahkan langkahku untuk membuka jalan ke pintu rezeki-Mu. Ya Allah aku mohon petunjuk-Mu akan arah yang baik dan benar untuk setiap langkahku. Mudahkan jalanku, kuatkan imanku..ya Allah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Tahu yang terbaik bagi umat-Mu. Seandainya rezekiku berada di langit dan baik untuk diturunkan segera, aku mohon keridhoan-Mu untuk menurunkannya padaku, bila berada di bumi tampakkanlah, bila jauh dekatkanlah, bila sedikit perbanyaklah, dan berkahi aku di dalamnya.
Ya Allah, karuniakanlah aku mata pencaharian yang halal dan baik, yang dapat memenuhi tanggung jawab nafkah bagi keluargaku, mata pencaharian yang dapat mendekatkan diriku kepada orang-orang soleh dan perbuatan-perbuatan yang baik. Jadikanlah pekerjaanku itu sebagai sumber rezeki yang dapat membahagiakan keluargaku, tetanggaku, umat muslim serta semua umat manusia. Jagalah aku agar setiap rezeki yang Engkau berikan padaku memiliki berkah, jadikan rezekiku selalu halal dan berada di jalan yang Engkau ridhai. Jagalah diriku agar selalu dapat mensyukuri setiap rezeki dan nikmat-Mu.
Ya Allah, tunjukilah kami selalu jalan untuk selalu mensucikan harta kami, jangan lagi ada harta yang tidak suci di rumah kami ya Allah kecuali Engkau telah memaafkan kami atas keberadaannya. Janganlah biarkan ada ada harta yang mubazir di rumah /di diri kami kecuali Engkau punya rencana yang baik bagi kami ya Allah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang pernah kulakukan selama hidupku yang terjadi selama aku mencari nafkah. Ampunilah dosa yang kusadari atau tak kusadari, sengaja atau tak sengaja, baik dosa lisan, dosa fisik, dosa finansial, dosa kesombongan, dan dosa apapun ya Allah. Seandainya ada dosa yang harus kuganti di dunia ini maka berilah aku petunjuk dan mudahkanlah aku untuk melaksanakannya.
Ya Allah, maafkanlah dosa nenek-kakek kami, saudara-saudara dan teman kami yang muslim yang telah meninggal dunia. Jauhkanlah mereka dari siksa kubur, mudahkan peghisaban mereka, masukkanlah mereka ke dalam surga.
Kesehatan
Ya Allah, aku memohon kepada Engkau ilmu yang bermanfaat, rezki yang luas dan kesembuhan dari segala rupa penyakit.
Ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah, sehatkanlah pendengaranku. Ya Allah sehatkanlah penglihatanku. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, tidak ada Tuhan melainkan Engkau
Allahumma inni as’aluka ilman naafi’aa, wa rizqan waa si’a, wa syifaa’an min kulli daa’in
Allahumma ‘aafinii fii badanii, allahumma ‘aafinii fii sam’ii, allahumma ‘aafinii fii basharii, allahumma inni a’udzu bika minal kufri wal faqri, allahumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil qabri laa illaha illaa anta
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, Yang Menguasai segala rupa penyakit dan penyembuhannya. Karuniakanlah kesehatan pada diriku, jasmani dan rohani. Seandainya ada penyakit dan cacat badan yang bersarang dalam diriku, baik yang telah ada atau yang akan Engkau rencanakan, maka hapuskanlah penyakit itu ya Allah, hapuskanlah penyakit itu ya Allah dalam suratan takdir-mu ya Allah. Aku mohon ya Allah, sehatkanlah diriku selalu, hari ini, besok dan hingga akhir hayatku. Aku mohon ya Allah, janganlah hari tuaku dipenuhi dengan berbagai macam penyakit, jadikanlah hari tuaku paling indah dan dipenuhi dengan amal ibadah dan keimanan yang setinggi-tingginya kepada-Mu ya Allah.
Kebersihan Hati
Ya Allah, sucikanlah hatiku dari nifak (berpura-pura), amalanku dari riya (ingin dipuji manusia), lidahku dari dusta, mataku dari khianat. Engkaulah yang mengetahui segala khianat mata dan segala was was atau segala sesuatu yang disembunyikan oleh dada-dada manusia.
Allahumma thahhir qalbii minannifaaqi, wa ‘amalii minarriyaa’I, wa lisaanii minal kadzibi, wa ‘ainayya minal khiyaanati, fa’innaka ta’lamu khaa’inatal a’yuni wa maa tukhfishshuduur.
Ya Allah, jauhkanlah aku dari sifat munafik, sifat pemalas, sifat kikir, sifat boros, sifat sombong, sifat tergesa-gesa, sifat tidak sabaran. Ya Allah, jadikanlah aku umat-Mu yang berakhlak mulia seperti akhlak rasulullah, akhlak yang Engkau ridhoi.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia). Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji (QS Ali Imran 3 : 8 – 9)
Rabana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaitana wa hablana min ladunka rahmatan innaka antal-wahhab, rabbana innaka jami’un-nas liyaumin la raiba fihi innallaha la yukhliful-mi’ad.
Ya Tuhan kami, curahkanlah kesabaran atas kami dan teguhkanlah pendirian kami serta tolonglah kami terhadap golongan yang kafir. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau tunjuki (kami jalan yang benar), dan berilah kami hadhirat-Mu rahmat karena Engkau adalah Yang Maha Pemberi. Ya Allah, kokohkanlah aku dari kemungkinan terpelesetnya iman, dan berilah aku petunjuk dari kemungkinan sesat.
Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberi penghalang antara aku dan hatiku, maka berilah penghalang antaraku dan antara syaitan serta perbuatannya.
Rabbanaa afrigh ‘alainaa shabran wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa ‘alal qaumil kaafiriin. Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wahablanaa milladungka rahmatan innaka antal wahhaab. Allahumma tsabbitnii an azilla wahdinii an adhilla. Allahumma kamaa hulta bainii wa baina qalbii, fahal bainii wa bainasy syaithaani wa ‘amalihi.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Husnul Khatimah
Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada ujungnya, dan sebaik-baiknya amalku adalah pada ujung akhirnya, dan sebaik-baik hariku adalah pada saat aku menemui-Mu
Alaahummaj’al khaira ‘umrii aakhirahu wa khaira ‘amalii khawaatiimahu wa khaira ayyaamii yauma liqaa’ika
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu) (QS Al-A’raf 7 : 126)
Rabbana afrigh’alaina shabran wa tawaffana muslimin>
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pada-Mu keselamatan dalam agama, kesejahteraan/kesehatan jasmani, bertambah ilmu pengetahuan, rezeki yang berkat, diterima taubat sebelum mati, dapat rahmat ketika mati dan dapat ampunan setelah mati. Ya Allah, mudahkanlah kami pada waktu sekarat dan selamatkanlah kami dari api neraka serta kami mohon kemaafan ketika dihisap.
Allahumma innaa nas’aluka salaamatan fiddiini wa ’aafiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi wabarakatan firrizqi wa taubatan qablal mauti, wa rahmatan ‘indal mauti, wa maghfiratan ba’dal maut. Allahuma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti, wannajaata minannaari wal ‘afwa ‘indal hisaab.
Ya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, Yang Maha Pengampun lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu. Aku mohon ya Allah, janganlah dulu cabut nyawaku sebelum Engkau haramkan neraka bagi kulitku dan sebelum Engkau wajibkan surga bagi diriku. Tetapkanlah diriku selalu setiap saat dalam keadaan beriman dan ingat kepada-Mu. Jadikanlah aku selalu dalam keadaan takut akan akhirat-Mu, jadikanlah aku menjadi orang yang dapat mencintai-Mu sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya mencintai diri-Mu dan sebagaimana mereka takut akan akhirat-Mu. Ya Allah, jadikanlah hidupku mulai hari ini hingga detik-detik terakhir kematianku penuh ketaqwaan, keimanan, kemudahan dan kebahagiaan. Lapangkanlah kuburanku, jauhkanlah aku dari siksa kubur ya Allah. Mudahkanlah aku ya Allah di padang Mahsyar, jadikanlah aku termasuk orang yang Engkau lindungi di padang Mahsyar hingga hari penghisaban. Mudahkanlah penghisaban diriku ya Allah. Masukkanlah aku ke surga-Mu ya Allah. Jadikanlah aku termasuk orang yang Engkau beri izin untuk memandang wajah-Mu kelak di akhirat.
Duhai Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, Yang Maha Mengetahui hal yang paling baik bagi umat-Mu. Ya Allah, karuniakanlah negeri kami pemimpin yang adil, yang beriman kepada-Mu, yang menyayangi rakyatnya, yang membenci kezhaliman, yang ingin menegakkan syariah Islam di negeri kami. Jauhkanlah dari negeri kami pemimpin-pemimpin yang zalim dan yang tidak beriman kepada-Mu.
Ya Allah tegakkanlah syariah Islam di negeri kami, tegakkanlah kehormatan agamu-Mu di negeri kami, jadikan negeri kami percontohan yang baik sebagai negeri kaum muslim.
Penutup do’a
Bagi kami cukup Allah saja pelindung yang baik bagi kami, tempat berserah diri yang baik bagi kami, dan penolong yang baik bagi kami.
Hasbunallahu wani’mal wakiilu ni’mal maulaa wani’mannashiir
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Allah izinkanlah aku untuk kembali ke tanah suci-Mu ini untuk kembali melaksanakan ibadah haji atau ibadah umroh dalam keadaan sehat wal afiat. Ya Allah izinkanlah aku kembali berhaji atau berumroh dalam keadaan lebih mabrur, lebih sehat dan lebih kuat.
Ya Allah, kabulkan doa, harapan dan permintaan teman-temanku yang menitipkan doa kepadaku untuk disampaikan ditanah suci-Mu ya Allah, baik yang telah terucap kepadaku maupun yang masih terbesit dalam hati mereka ketika mereka memandangku atau mendengar rencana keberangkatanku berhaji.
Ya Allah, tambahlah ilmuku, bimbinglah aku agar mendapat hanya ilmu yang lurus dan benar sesuai dengan syariat-Mu dan ajaran rasul-Mu. Bimbinglah aku agar imuku menjadi ilmu yang bermanfaat, jauh dari riya’ , mudahkanlah mulutku untuk membaca dan memahami Al-Quran. Jadikanlah aku umat-Mu yang pandai menyampaikan ayat-ayat-Mu dengan ikhlas, tidak riya’ , mudahkan mulutku untuk berkomunikasi dengan lancar dan tawadhu, jadikan aku orang yang tawadhu, mudahkan hati dan pikiranku untuk menganalisa ilmu agama secara benar dan lurus.
Karuniakanlah kepada aku dan seluruh anggota keluarga berupa teman-teman yang sholeh sebanyak-banyaknya, pergaulan yang baik. Jauhkanlah aku dan keluargaku serta kedua orang tua dari pergaulan dan teman-teman yang kurang baik dan dari teman-teman yang tidak sesuai dengan anjuran-Mu. Karuniakan pula kami kesempatan untuk beramal, beribadah, bersedekah, berdakwah sebanyak-banyaknya selama sisa akhir hidup kami.
Allahuma a’inni alla dzikrika wa syukrika wa husni ibadatika
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ya Tuhan kami, perkenankanlah do’a-do’a kami, karena sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Menerima taubat dan Maha Penyayang. Kesejahteraan dan keselamatan semoga dilimpahkan kepada junjungan pemimpin para nabi dan rasul Muhammad s.a.w, atas keluarganya serta para sahabatnya semuanya.
Maha suci Tuhanmu, Tuhan Yang bersih dari sifat-sifat kekurangan. Dan semoga keselamatan dicurahkan kepada para Rasul dan segala puji bagi Allah seru sekalian alam. (HR. An-Nawawi)
Rabbanaa taqabbal minna innaka antassamii’ul aliimu wa tub’alainaa innaka antattawwaaburrahiim. Washshalaatu wassalaamu ‘alla sayyidil ambiyaa’i wal mursaliina muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shabihi ajma’iin.
Subhaanaka rabbika rabbil ‘izzati’ ammaa yashifuuna wa salaamun ‘alal mursaliina walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Da’waahum fiihaa subhaanakallaahumma wa tahiyyatuhum fiihaa salaamun, wa aakhiru da’waahum anil hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.
Ya Allah, sesungguhnya kami mohon keridhaan-Mu dan sorga, kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan siksa neraka.
Allahuma inna nas’aluka ridhoka waljannata wana’uudzubika min shakatika wannaar.
Ya Allah Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksaan neraka.
Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘adzaabannaar
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Alhamdulillahi rabbil alamin.
Baca surat Al Fatihah
(Sumber : Buku Doa & Dzikir, karangan Drs. Miftah Faridl, dan dari berbagai sumber)
Cara Memilih Pemimpin Menurut Islam
Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan bernegara. Jika pemimpin negara itu jujur, baik, cerdas dan amanah, niscaya rakyatnya akan makmur. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak jujur, korup, serta menzalimi rakyatnya, niscaya rakyatnya akan sengsara.
Oleh karena itulah Islam memberikan pedoman dalam memilih pemimpin yang baik. Dalam Al Qur’an, Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk memilih pemimpin yang baik dan beriman:
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. “ (An Nisaa 4:138-139)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimmpin (mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagiaa yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim ” (QS. Al-Maidah: 51)
“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka mereka itulah orang2 yang zalim” (At Taubah:23)
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman atau pelindung)” (An Nisaa:144)
“Janganlah orang2 mukmin mengambil orang2 kafir jadi pemimpin, bukan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun…” (Ali Imran:28)
Selain beriman, seorang pemimpin juga harus adil:
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “ada tujuh golongan manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):
1. Imam/pemimpin yang adil
2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah
3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid
4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun karena Allah
5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”
6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya
7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air matanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
“Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat dengan taqwa…” (Q.s. Al-Maidah 5: 8 )
Keadilan yang diserukan al-Qur’an pada dasarnya mencakup keadilan di bidang ekonomi, sosial, dan terlebih lagi, dalam bidang hukum. Seorang pemimpin yang adil, indikasinya adalah selalu menegakkan supremasi hukum; memandang dan memperlakukan semua manusia sama di depan hukum, tanpa pandang bulu. Hal inilah yang telah diperintahkan al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah ketika bertekad untuk menegakkan hukum (dalam konteks pencurian), walaupun pelakunya adalah putri beliau sendiri, Fatimah, misalnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya”. (Qs. An-Nisa; 4: 135)
Dalam sebuah kesempatan, ketika seorang perempuan dari suku Makhzun dipotong tangannya lantaran mencuri, kemudian keluarga perempuan itu meminta Usama bin Zaid supaya memohon kepada Rasulullah untuk membebaskannya, Rasulullah pun marah. Beliau bahkan mengingatkan bahwa, kehancuran masyarakat sebelum kita disebabkan oleh ketidakadilan dalam supremasi hukum seperti itu. Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: adakah patut engkau memintakan kebebasan dari satu hukuman dari beberapa hukuman (yang diwajibkan) oleh Allah? Kemudian ia berdiri lalu berkhutbah, dan berkata: ‘Hai para manusia! Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu itu rusak/binasa dikarenakan apabila orang-orang yang mulia diantara mereka mencuri, mereka bebaskan. Tetapi, apabila orang yang lemah mencuri, mereka berikan kepadanya hukum’. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ahmad, Dariini, dan Ibnu Majah)
“Sesungguhnya Allah akan melindungi negara yang menegakkan keadilan walaupun ia kafir, dan tidak akan melindungi negara yang dzalim (tiran) walaupun ia muslim”. (Mutiara I dr Ali ibn Abi Thalib) Pilihlah pemimpin yang jujur: Dari Ma’qil ra. Berkata: saya akan menceritakan kepada engkau hadist yang saya dengar dari Rasulullah saw. Dan saya telah mendengar beliau bersabda: “seseorang yang telah ditugaskan Tuhan untuk memerintah rakyat (pejabat), kalau ia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau surga”. (HR. Bukhari)
Pilih pemimpin yang mau mencegah dan memberantas kemungkaran seperti korupsi, nepotisme, manipulasi, dll:
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Pilih pemimpin yang bisa mempersatukan ummat, bukan yang fanatik terhadap kelompoknya sendiri:
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dalam Al Qur’an :
“ … Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian, orang-orang Muslim, dari dahulu … .” (QS. Al Hajj : 78)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menukil satu hadits yang berbunyi :
“Barangsiapa menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah maka sesungguhnya dia menyeru ke pintu jahanam.” Berkata seseorang : “Ya Rasulullah, walaupun dia puasa dan shalat?” “Ya, walaupun dia puasa dan shalat, walaupun dia mengaku Muslim. Maka menyerulah kalian dengan seruan yang Allah telah memberikan nama atas kalian, yaitu : Al Muslimin, Al Mukminin, Hamba-Hamba Allah.” (HR. Ahmad jilid 4/130, 202 dan jilid 5/344)
Ada beberapa sifat baik yang harus dimiliki oleh para Nabi, yaitu: Amanah (dapat dipercaya), Siddiq (benar), Fathonah (cerdas/bijaksana), serta tabligh (berkomunikasi dgn baik dgn rakyatnya). Sifat di atas juga harus dimiliki oleh pemimpin yang kita pilih.
Pilih pemimpin yang amanah, sehingga dia benar-benar berusaha mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya bisa menjual aset negara atau kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pilih pemimpin yang cerdas, sehingga dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau kelompok lain sehingga merugikan negara. Pemimpin yang cerdas punya visi dan misi yang jelas untuk memajukan rakyatnya.
Terkadang kita begitu apatis dengan pemimpin yang korup, sehingga memilih Golput. Sikap golput atau tidak memilih pemimpin merupakan sikap yang kurang baik. Dalam Islam, kepemimpinan itu penting, sehingga Nabi pernah berkata, jika kalian bepergian, pilihlah satu orang jadi pemimpin. Jika hanya berdua, maka salah satunya jadi pemimpin. Sholat wajib pun yang paling baik adalah yang ada pemimpinnya (imam).
sumber : http://media-islam.or.id/2009/06/26/bagaimana-cara-memilih-pemimpin-menurut-islam/
Kumpulan Doa Nabi shallallahu a'laihi wa sallam
*اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه.ُ.*
*بِسْــــــــــــــــــمِ ﷲ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم..*
*اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ النَّبِيِّ الأُمِّيّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلم*
▶ Kumpulan Doa Nabi shallallahu a'laihi wa sallam
*ISTIQOMAH MENGAMALKANNYA....*
1. Ditetapkan hati dalam Iman
اَللَّهُمَّ يا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ، صَرِّفْ قُلُوْبُنَا عَلَى دِينِكَ
*“Wahai Tuhan yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.”*
(HR. Muslim 2654)
2. Ampunan dalam segala hal
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِيْ، وَجَهْلِيْ، وَإِسْرَافِيْ فِي أَمْرِيْ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ. اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ جَدِّيْ وَهَزْلِيْ، وَخَطَئِيْ وَعَمْدِيْ، وَكُلُّ ذلِكَ عِنْدِيْ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ، وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ، وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ، وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
*“Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kebodohanku, keberlebih-lebihan dalam perkaraku, dan apa yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah diriku dalam kesungguhanku, kelalaianku, kesalahanku, kesengajaanku, dan semua itu adalah berasal dari sisiku. Ya Allah, ampunilah aku dari segala dosa yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan, segala dosa yang aku sembunyikan dan yang aku tampakkan, dan dosa yang Engkau lebih mengetahui daripadaku, Engkaulah Yang Maha Mendahulukan dan Yang mengakhirkan, dan Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.*
(HR. Bukhari 6398 dan Muslim 2719).
3. Mohon Diperbaiki Segala Urusan
اَللَّـهُـَّم أَصْلِحْ لِي دِينِي الّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الّتِي فِيهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الّتِي فِيهَا مَعَادِي، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
*Ya Allah mohon kebaikan pada urusan agamaku karena itu adalah penjaga semua urusanku. Aku mohon kebaikan pada urusan duniaku karena itu tempat hidupku. Aku mohon kebaikan pada urusan akhiratku karena itu tempat kembaliku. Jadikanlah hidup ini tambahan kebaikan bagiku, dan jadikanlah kematianku waktu istirahat bagiku dari segala keburukan.*
(HR. Muslim 2720)
4. Perlindungan dari Fitnah Kaya dan Fitnah Miskin
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الكَسَلِ وَالهَرَمِ، وَالمَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ، وَمِنْ فِتْنَةِ القَبْرِ، وَعَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ النَّارِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الغِنَى، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الفَقْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الَمسِيحِ الدَّجَّال
*Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan usia jompo, perbuatan dosa dan hutang, fitnah kubur dan azab kubur, fitnah neraka dan azab neraka, keburukan fitnah kekayaan; aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kemiskinan dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Masih Dajjal.*
(HR. Bukhari 6368)
5. Perlindungan Dicabutnya Nikmat Lahir Batin
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
*Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.*
(HR. Muslim 2739).
6. Agar Dijauhkan dari Sifat Pengecut & Tidak Pikun
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
*Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut, aku berlindung kepada-Mu kepada serendah-rendahnya usia (pikun), aku berpindung kepada-Mu dari fitnah dunia, dan aku berlindung berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.* (HR. Bukhari 2822)
7. Berlindung dari Keburukan Amal
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ، وَشَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ
*Ya Allah, aku berlindung dari keburukan yang telah aku perbuat dan keburukan yang belum aku perbuat.*
(HR. Muslim 2716)
8. Agar Jiwanya Bertaqwa & Berlindung dari Ilmu yang tidak Manfaat
اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
*Ya Allah karuniakan ketakwaan pada jiwaku. Sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya, Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari Ilmu yang tidak manfaat, hati yang tidak khusyu, dan doa yang tidak diijabahi.*
(HR. Muslim 2722).
9. Mohon Bisa Melihat Wajah Allah
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
*Ya Allah, Aku mohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu (di Surga), rindu bertemu dengan-Mu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan.*
(HR. Nasai 1305 dan dishahihkan al-Albani)
10. Dimudahkan Berbuat Baik & Mencintai Orang Miskin
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِى وَتَرْحَمَنِى وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِى غَيْرَ مَفْتُونٍ
*Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran serta aku memohon pada-Mu supaya bisa mencintai orang miskin,ampunilah (dosa-dosa)ku, rahmatilah saya, jika Engkau menginginkan untuk menguji suatu kaum maka wafatkanlah saya dalam keadaan tidak tenggelam dalam ujian.*
(HR. Tirmidzi no. 3235 dan Ahmad 5: 243, dan Dishahihkan al-Albani)
11. Mohon Agar Bisa Mencintai Orang yang Mencintai Allah
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ
*Saya memohon agar dapat mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai amal yang dapat mendekatkan diriku kepada cinta-Mu.*
(HR. Tirmidzi no. 3235 dan Ahmad 5: 243, dan Dishahihkan al-Albani).
12. Mohon Kebaikan dalam Segala Hal yang Pernah Diminta Nabi
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ مَا سَأَلَكَ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَاذَ بِهِ عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا
*Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu seluruh kebaikan yang segera (dunia) dan yang tertunda (akhirat), kebaikan yang aku ketahui dan yang tidak aku ketahui.*
*Dan aku berlindung kepadaMu dari segala keburukan yang segera (dunia) dan yang tertunda (akhirat), yang aku ketahui dan yang tidak aku ketahui. Aku meminta kepada-Mu kebaikan semua doa yang pernah diminta oleh hamba dan nabi-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan, yang hamba dan nabi-Mu pernah berlindung darinya*
*Aku memohon surga kepadaMu dan segala perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya. Aku berlindung kepadaMu dari neraka dan segala perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya. Aku meminta segala sesuatu yang telah Engkau takdirkan untukku, hendaklah Engkau jadikan kebaikan bagiku.*
(HR. Ahmad 25019, Ibnu Majah 3846 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
~Semoga bermanfaat.
Selasa, 29 Ogos 2017
KEWAJIPAN MENGUNDI
Apabila politik menjadi sebahagian daripada ajaran Islam, maka kewajipan memilih pemimpin adalah sebahagian daripadanya. Dalam sistem demokrasi diadakan pilihanraya dengan mensyaratkan seseorang itu mendaftarkan diri menjadi pemilih yang membolehkannya mengundi.
Walaupun demokrasi berasal daripada barat, namun tidak boleh dipisahkan daripada kewajipan politik yang ditegaskan oleh hukum Islam selagi tidak bercanggah dengan dasar dan konsep Islam yang sempurna, teguh dan anjal. Pemerintahan Islam di sepanjang zaman keemasannya menerima segala yang baik daripada semua bangsa yang bertamadun dan mengislahkan kelemahan serta menolak kemungkarannya.
Perlu disedari mengikut kajian sejarah, demokrasi moden di negara barat adalah terpengaruh daripada Politik Islam yang dikaji oleh ilmuan barat daripada Tamadun Islam dalam segala aspek, bukan sahaja dalam bidang sains teknologi, bahkan sebenarnya termasuk juga dalam ilmu sains politik. Di mana mereka mengenali amalan memilih pemimpin dalam syariat Islam sehingga diadakan sistem pilihanraya, tetapi mereka memisahkannya daripada agama.
Demokrasi purba di Greek yang dicipta oleh tamadun barat tidak boleh menandingi Feqah Politik Islam. Apabila caranya tidak berpijak di lapangan rakyat semua peringkat, maka dilakukan perubahan pemerintah secara revolusi seperti di Perancis, England dan lain-lain. Di beberapa negara lain pula mengorbankan rakyat silih berganti, sehinggalah para orientalis bertemu dengan pengajian Islam.
Islam menempa sejarah politik ketika wafatnya Rasulullah S.A.W. Para sahabat R.A. di kalangan Muhajirin dan Ansar yang mewakili semua kumpulan dan kelompok melaksanakan konsep syura yang disebut di dalam Al-Quran. Mereka berhimpun di tempat bernama Thaqifah Bani Sa’idah (Dataran Bani Sa’idah), sekarang dibina Kompleks Percetakan Al-Quran.
Tujuan perhimpunan itu adalah bagi memilih Khalifah (Ketua Negara) menggantikan Rasulullah S.A.W. selepas kewafatannya. Himpunan itu dilakukan selepas selesai menyembahyangkan jenazah Rasulullah S.A.W. sebelum dikebumikan jasadnya yang mulia itu. Ini menunjukkan betapa besarnya kewajipan memilih pemimpin dalam ajaran Islam, sehingga lebih diutamakan daripada mengebumikan jasad Rasulullah S.A.W.
Ada tiga calon yang dicadangkan. Kalangan Ansar (penduduk asal Madinah) mencalonkan pemimpin mereka, Saad bin Ubadah R.A, adapun keluarga Rasulullah S.A.W dan beberapa orang yang lain mencalonkan Ali bin Abi Talib K.W.H (menantu dan sepupu Rasulullah S.A.W.), kalangan Muhajirin pula mencalonkan Abu Bakar R.A. daripada Muhajirin Qabilah Quraisy. Apabila mereka mendengar Hadis Rasulullah S.A.W. yang pernah bersabda:
الأئمة من قريش
“Para pemimpin utama hendaklah daripada Quraisy”
Akhirnya Abu Bakar R.A dipilih menjadi Khalifah. Para ulama yang menulis berkenaan Politik Islam menegaskan dalil mafhum daripadanya adalah memilih pemimpin yang muslim dan mempunyai kelayakan daripada kaum yang paling kuat pengaruhnya dalam masyarakat. Syarat muslim kerana Islam menjadi aqidah negara, manakala syarat Quraisy kerana dominasi dalam masyarakat.
Kuasa Khalifah Abu Bakar R.A tidak mutlak dan pentadbirannya secara syura yang melibatkan anggota kabinet di kalangan pemimpin para sahabat dan masyarakat umum yang bebas menasihat dan mengkritik, berprinsipkan patuh kepada hukum tertinggi Al-Quran dan Sunnah serta menghayati amalan syura.
Cara pemilihannya sentiasa berubah mengikut perkembangan masyarakat dan zamannya seperti juga hukum Islam yang lain. Contohnya haji yang diwajibkan menjadi rukun Islam, tidak lagi musafirnya melalui unta atau berjalan kaki sahaja. Zaman kini perjalanannya melalui pesawat udara dan keselamatannya melalui amalan visa. Maka semuanya menjadi wajib kerana termasuk di dalam kaedah hukum Syara’:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Apa-apa yang tidak sempurna perkara wajib melainkan dengannya, maka ia menjadi wajib juga”
Contoh lain juga adalah wajibnya pakaian menutup aurat bagi menunaikan sembahyang, tanpa dipersoalkan siapa yang membuat kainnya dan siapa peniaganya, tanpa ditanya agama tukang jahit dan bentuknya dari negara mana, tetapi syarat sah orang sembahyang itu adalah Islam.
Begitulah juga perubahan masyarakat dan zaman dalam amalan politik yang mengadakan pilihanraya umum pada hari ini, tidak boleh dipisahkan daripada kewajipan politik yang menjadi sebahagian daripada syariat Islam.
Rasulullah S.A.W. telah memberi amaran kepada umatnya yang cuai melaksanakan kewajipan ini di akhir zaman menyebabkan kemusnahan mereka.
Sabda baginda SAW:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ (مسند أحمد)
“Demi sesungguhnya (akan berlaku) dirungkainya tali simpulan teguh yang mengikat ajaran Islam, satu demi satu. Apabila satunya dirungkai menyebabkan orang ramai menjadi berselerak terpaksa berpegang dengan simpulan ikatan yang ada selepasnya. Perkara pertama yang dirungkai ialah hukum (yang berkait dengan pemerintahan negara) atau politik dan yang terakhirnya ialah sembahyang”
Imam Al-Ghazali yang banyak menulis berkenaan tasawuf juga memberi perhatian khusus dalam aspek pemerintahan negara dalam kitabnya yang berkait dengan aqidah menegaskan:
“Agama menjadi asas, kuasa pemerintahan (politik) menjadi pengawasnya. Kalau tidak ada asas menyebabkan runtuh dan kalau tidak ada pengawas menjadikan hukum agama itu sia-sia sahaja”
Kita menyaksikan sekarang betapa ramai di kalangan umat Islam tidak mengambil kisah atau menganggap tidak penting dalam aspek ini. Ada juga yang merasa bosan kerana banyaknya karenah yang tidak menyenangkan dalam aspek politik, lalu mereka menyerah kalah atau mencari pendekatan yang salah apabila lebih mudarat bencananya. Mereka lupa betapa politik banyak mempengaruhi aspek yang lain, khususnya aspek kedaulatan negara dan keselamatan umat, bukan sahaja aspek ekonomi dan lain-lain.
Rasulullah S.A.W. menyuruh umatnya bersabar menghadapi penyelewengan politik kerana wajib memelihara urusan politik supaya tidak terjerumus ke dalam bencana yang lebih besar akibatnya.
Banyak ayat-ayat Al-Quran dan Hadis-hadis yang menunjukkan betapa Allah dan Rasul-Nya sangat murka terhadap orang yang tidak mengambil perhatian terhadap kepentingan umatnya sehingga menerima bencana yang memusnahkan semuanya.
Maka hendaklah difahami betapa mendaftarkan diri untuk menjadi pengundi di zaman kini adalah satu kewajipan agama yang besar terhadap setiap orang lelaki dan wanita apabila mempunyai kelayakan.
Allah berfirman:
وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨ محمد
“Dan jika kamu berpaling (daripada beriman dan menegakkan Islam) Dia akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain; setelah itu mereka tidak akan berkeadaan seperti kamu” (Surah Muhammad: 38)
Urusan menegakkan Islam dengan menjadi pemerintah berkuasa politik adalah kewajipan besar bagi umat Islam. Adapun yang datang menguar-uarkan supaya umat Islam melupakan politik adalah warisan peninggalan penjajah supaya umat ini lemah dan hilang kuasanya. Akhirnya menjadi hamba kepada sesiapa yang mengambil kuasa.
Mengundi bukan sahaja memilih pemimpin bagi pihak rakyat, bahkan tanggungjawab mengundi adalah melantik wakil rakyat untuk melaksanakan Amar Maaruf dan Nahi Mungkar yang menjadi tonggak penting dalam menjaga jati diri umat melalui kekuasaan atau bersuara dan menentukan sikap. Mengundi juga adalah menjadi hakim terhadap kerajaan dengan melakukan hisbah di sepanjang penggal pemerintahannya.
Konsep ini bersandarkan kepada firman Allah:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤ آل عمران
“Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji) dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya.”(Surah Ali-Imran: 104)
Sabda Rasulullah S.A.W.
وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ. (رواه الترمذي)
“Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman kekuasaannya. Kamu hendaklah menyuruh kepada yang baik dan mencegah kemungkaran atau kalau kamu tidak melaksanakannya, hampirlah Allah menghukum kamu dengan balasan daripadanya. Kemudian kamu berdoa kepadanya, tiba-tiba doa kamu tidak diperkenankan” (Riwayat Tarmizi)
Hanya Muslim tanpa pedulikan maruah umatnya sahaja tidak mahu mengundi.
Padi bukan sebarang padi,
Padi ditanam di dalam sawah,
Mengundi bukan sebarang mengundi,
Mengundi kerana pertahan maruah.
“Sejahtera Bersama Islam”
ABDUL HADI AWANG
Presiden PAS
Bertarikh: 6 Zulhijjah 1438H / 28 Ogos 2017
Walaupun demokrasi berasal daripada barat, namun tidak boleh dipisahkan daripada kewajipan politik yang ditegaskan oleh hukum Islam selagi tidak bercanggah dengan dasar dan konsep Islam yang sempurna, teguh dan anjal. Pemerintahan Islam di sepanjang zaman keemasannya menerima segala yang baik daripada semua bangsa yang bertamadun dan mengislahkan kelemahan serta menolak kemungkarannya.
Perlu disedari mengikut kajian sejarah, demokrasi moden di negara barat adalah terpengaruh daripada Politik Islam yang dikaji oleh ilmuan barat daripada Tamadun Islam dalam segala aspek, bukan sahaja dalam bidang sains teknologi, bahkan sebenarnya termasuk juga dalam ilmu sains politik. Di mana mereka mengenali amalan memilih pemimpin dalam syariat Islam sehingga diadakan sistem pilihanraya, tetapi mereka memisahkannya daripada agama.
Demokrasi purba di Greek yang dicipta oleh tamadun barat tidak boleh menandingi Feqah Politik Islam. Apabila caranya tidak berpijak di lapangan rakyat semua peringkat, maka dilakukan perubahan pemerintah secara revolusi seperti di Perancis, England dan lain-lain. Di beberapa negara lain pula mengorbankan rakyat silih berganti, sehinggalah para orientalis bertemu dengan pengajian Islam.
Islam menempa sejarah politik ketika wafatnya Rasulullah S.A.W. Para sahabat R.A. di kalangan Muhajirin dan Ansar yang mewakili semua kumpulan dan kelompok melaksanakan konsep syura yang disebut di dalam Al-Quran. Mereka berhimpun di tempat bernama Thaqifah Bani Sa’idah (Dataran Bani Sa’idah), sekarang dibina Kompleks Percetakan Al-Quran.
Tujuan perhimpunan itu adalah bagi memilih Khalifah (Ketua Negara) menggantikan Rasulullah S.A.W. selepas kewafatannya. Himpunan itu dilakukan selepas selesai menyembahyangkan jenazah Rasulullah S.A.W. sebelum dikebumikan jasadnya yang mulia itu. Ini menunjukkan betapa besarnya kewajipan memilih pemimpin dalam ajaran Islam, sehingga lebih diutamakan daripada mengebumikan jasad Rasulullah S.A.W.
Ada tiga calon yang dicadangkan. Kalangan Ansar (penduduk asal Madinah) mencalonkan pemimpin mereka, Saad bin Ubadah R.A, adapun keluarga Rasulullah S.A.W dan beberapa orang yang lain mencalonkan Ali bin Abi Talib K.W.H (menantu dan sepupu Rasulullah S.A.W.), kalangan Muhajirin pula mencalonkan Abu Bakar R.A. daripada Muhajirin Qabilah Quraisy. Apabila mereka mendengar Hadis Rasulullah S.A.W. yang pernah bersabda:
الأئمة من قريش
“Para pemimpin utama hendaklah daripada Quraisy”
Akhirnya Abu Bakar R.A dipilih menjadi Khalifah. Para ulama yang menulis berkenaan Politik Islam menegaskan dalil mafhum daripadanya adalah memilih pemimpin yang muslim dan mempunyai kelayakan daripada kaum yang paling kuat pengaruhnya dalam masyarakat. Syarat muslim kerana Islam menjadi aqidah negara, manakala syarat Quraisy kerana dominasi dalam masyarakat.
Kuasa Khalifah Abu Bakar R.A tidak mutlak dan pentadbirannya secara syura yang melibatkan anggota kabinet di kalangan pemimpin para sahabat dan masyarakat umum yang bebas menasihat dan mengkritik, berprinsipkan patuh kepada hukum tertinggi Al-Quran dan Sunnah serta menghayati amalan syura.
Cara pemilihannya sentiasa berubah mengikut perkembangan masyarakat dan zamannya seperti juga hukum Islam yang lain. Contohnya haji yang diwajibkan menjadi rukun Islam, tidak lagi musafirnya melalui unta atau berjalan kaki sahaja. Zaman kini perjalanannya melalui pesawat udara dan keselamatannya melalui amalan visa. Maka semuanya menjadi wajib kerana termasuk di dalam kaedah hukum Syara’:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Apa-apa yang tidak sempurna perkara wajib melainkan dengannya, maka ia menjadi wajib juga”
Contoh lain juga adalah wajibnya pakaian menutup aurat bagi menunaikan sembahyang, tanpa dipersoalkan siapa yang membuat kainnya dan siapa peniaganya, tanpa ditanya agama tukang jahit dan bentuknya dari negara mana, tetapi syarat sah orang sembahyang itu adalah Islam.
Begitulah juga perubahan masyarakat dan zaman dalam amalan politik yang mengadakan pilihanraya umum pada hari ini, tidak boleh dipisahkan daripada kewajipan politik yang menjadi sebahagian daripada syariat Islam.
Rasulullah S.A.W. telah memberi amaran kepada umatnya yang cuai melaksanakan kewajipan ini di akhir zaman menyebabkan kemusnahan mereka.
Sabda baginda SAW:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ (مسند أحمد)
“Demi sesungguhnya (akan berlaku) dirungkainya tali simpulan teguh yang mengikat ajaran Islam, satu demi satu. Apabila satunya dirungkai menyebabkan orang ramai menjadi berselerak terpaksa berpegang dengan simpulan ikatan yang ada selepasnya. Perkara pertama yang dirungkai ialah hukum (yang berkait dengan pemerintahan negara) atau politik dan yang terakhirnya ialah sembahyang”
Imam Al-Ghazali yang banyak menulis berkenaan tasawuf juga memberi perhatian khusus dalam aspek pemerintahan negara dalam kitabnya yang berkait dengan aqidah menegaskan:
“Agama menjadi asas, kuasa pemerintahan (politik) menjadi pengawasnya. Kalau tidak ada asas menyebabkan runtuh dan kalau tidak ada pengawas menjadikan hukum agama itu sia-sia sahaja”
Kita menyaksikan sekarang betapa ramai di kalangan umat Islam tidak mengambil kisah atau menganggap tidak penting dalam aspek ini. Ada juga yang merasa bosan kerana banyaknya karenah yang tidak menyenangkan dalam aspek politik, lalu mereka menyerah kalah atau mencari pendekatan yang salah apabila lebih mudarat bencananya. Mereka lupa betapa politik banyak mempengaruhi aspek yang lain, khususnya aspek kedaulatan negara dan keselamatan umat, bukan sahaja aspek ekonomi dan lain-lain.
Rasulullah S.A.W. menyuruh umatnya bersabar menghadapi penyelewengan politik kerana wajib memelihara urusan politik supaya tidak terjerumus ke dalam bencana yang lebih besar akibatnya.
Banyak ayat-ayat Al-Quran dan Hadis-hadis yang menunjukkan betapa Allah dan Rasul-Nya sangat murka terhadap orang yang tidak mengambil perhatian terhadap kepentingan umatnya sehingga menerima bencana yang memusnahkan semuanya.
Maka hendaklah difahami betapa mendaftarkan diri untuk menjadi pengundi di zaman kini adalah satu kewajipan agama yang besar terhadap setiap orang lelaki dan wanita apabila mempunyai kelayakan.
Allah berfirman:
وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨ محمد
“Dan jika kamu berpaling (daripada beriman dan menegakkan Islam) Dia akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain; setelah itu mereka tidak akan berkeadaan seperti kamu” (Surah Muhammad: 38)
Urusan menegakkan Islam dengan menjadi pemerintah berkuasa politik adalah kewajipan besar bagi umat Islam. Adapun yang datang menguar-uarkan supaya umat Islam melupakan politik adalah warisan peninggalan penjajah supaya umat ini lemah dan hilang kuasanya. Akhirnya menjadi hamba kepada sesiapa yang mengambil kuasa.
Mengundi bukan sahaja memilih pemimpin bagi pihak rakyat, bahkan tanggungjawab mengundi adalah melantik wakil rakyat untuk melaksanakan Amar Maaruf dan Nahi Mungkar yang menjadi tonggak penting dalam menjaga jati diri umat melalui kekuasaan atau bersuara dan menentukan sikap. Mengundi juga adalah menjadi hakim terhadap kerajaan dengan melakukan hisbah di sepanjang penggal pemerintahannya.
Konsep ini bersandarkan kepada firman Allah:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤ آل عمران
“Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji) dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya.”(Surah Ali-Imran: 104)
Sabda Rasulullah S.A.W.
وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ بِالمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ المُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ. (رواه الترمذي)
“Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman kekuasaannya. Kamu hendaklah menyuruh kepada yang baik dan mencegah kemungkaran atau kalau kamu tidak melaksanakannya, hampirlah Allah menghukum kamu dengan balasan daripadanya. Kemudian kamu berdoa kepadanya, tiba-tiba doa kamu tidak diperkenankan” (Riwayat Tarmizi)
Hanya Muslim tanpa pedulikan maruah umatnya sahaja tidak mahu mengundi.
Padi bukan sebarang padi,
Padi ditanam di dalam sawah,
Mengundi bukan sebarang mengundi,
Mengundi kerana pertahan maruah.
“Sejahtera Bersama Islam”
ABDUL HADI AWANG
Presiden PAS
Bertarikh: 6 Zulhijjah 1438H / 28 Ogos 2017
Ahad, 27 Ogos 2017
Isu Peristiwa Memali Kembali Menjadi Polemik Yang Menghangatkan Iklim Politik Negara.
RCI ISU MEMALI : KEBENARAN PASTI TERSULUH, KEBATILAN AKAN HILANG
(26 Ogos 2017)
1. Isu Peristiwa Memali kembali menjadi polemik yang menghangatkan iklim politik negara sejak akhir-akhir ini. Tragedi yang berlaku lebih 30 tahun dahulu telah menjadi memori hitam dalam negara ini, menjadi episod luka buat umat Islam di negara ini. Tragedi menggemparkan itu telah mengorbankan As Syahid Ustaz Ibrahim Libya dan 13 orang pengikut beliau.
2. Bagi PAS, tragedi hitam itu menjadi titik penting bahawa perjuangan PAS bertunjangkan Islam tidak pernah sunyi dari dugaan dan cabaran getir sepanjang sejarah perjuangannya. As Syahid Ustaz Ibrahim Libya telah membayar harga perjuangan ini dengan kesyahidan beliau. Beliau menjadi mangsa kerakusan manusia yang tamak dan gila dalam mempertahankan kuasa.
3. Ketika isu Memali diangkat semula ke tengah masyarakat, sesetengah pihak menganggap ia isu politik yang sengaja dibesar-besarkan menjelang musim Pilihanraya Umum ke 14. Cadangan PAS untuk mewujudkan Suruhanjaya Di Raja (RCI) bagi menyiasat tragedi Memali dianggap sebagai mempolitikkan keadaan. Ramai menganggap PAS mahu melunas dendam lama yang terpendam. Ada pula yang menganggap ia memberi kredit kepada UMNO-BN. Pihak pembangkang menganggap isu ini sekadar untuk menjatuhkan kredibiliti Tun Dr Mahathir Mohamad sebagai Pengerusi Pakatan Harapan.
4. PAS sejak dahulu tetap istiqomah dalam isu Memali. Sejak awal kejadian itu, PAS tidak pernah menarik balik perjuangan mendapatkan keadilan untuk mangsa tragedi ini. Cadangan untuk menubuhkan Suruhanjaya Di Raja bagi menyiasat isu Memali bukan hari ini dilontarkan, tetapi telah dicadangkan oleh Presiden PAS ketika itu, Tuan Haji Yusuf Rawa pada 22 November 1985. PAS Pusat juga telah membuat keputusan rasmi dalam Mesyuarat Khas Jawatankuasa Kerja PAS Pusat pada 8 Disember 1985.
5. Kesyahidan Ustaz Ibrahim Libya dan pengikutnya seramai 13 orang diakui oleh kesemua pemimpin tertinggi PAS termasuk Tuan Guru Haji Yusuf Rawa, Datuk Fadzil Mohd Nor, dan Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat. Bahkan para pemimpin PAN (Parti Amanah Negara) juga dahulunya lantang memperjuangkan isu Memali. Mengapa pula apabila PAS membangkitkan perkara ini sekarang, mereka pula menganggap PAS yang mempolemikkan keadaan? Siapa yang tidak konsisten dalam kenyataan, prinsip dan tindakan? Apakah para pemimpin PAN sudah berubah sikap dan tidak mengakui kesyahidan Ustaz Ibrahim Libya pula?
6. Isu Memali adalah tragedi kemanusiaan yang melibatkan darah dan nyawa. Lebih 30 tahun mangsa termasuk keluarga mereka memendam rasa dan menanggung penderitaan berat. Mereka juga telah dinafikan keadilan serta hak sewajarnya. Lebih malang lagi, sejak kejadian itu, mereka dituduh dengan pelbagai tuduhan liar dan dianggap sebagai penderhaka.
7. Penubuhan RCI menjawab persoalan mengapa isu ini terjadi, bagaimana ia berlaku dan siapa yang mengarahkan pembunuhan ini. Ketika ramai anggota polis yang terlibat menyatakan kekesalan serta dipaksa untuk bertindak, ia menimbulkan persoalan lebih besar, siapa yang mengarahkan mereka dan mengapa mereka sampai dibunuh.
8. Menuduh Presiden PAS, Dato’ Seri Tuan Guru Hj Abdul Hadi Awang dengan ‘Amanat Haji Hadi’ sebagai punca tercetusnya isu Memali adalah suatu usaha jahat pihak tertentu. Mereka seakan mahu memandang rendah tahap keilmuan As Syahid Ibrahim Libya dan pengikut-pengikutnya. Hakikatnya, As Syahid bukan orang jahil untuk bergantung taklid kpd "Amanat". Dia mengaji Islam sejak dari kecil dan telah merantau menuntut ilmu dalam dan luar negara. Jika benar mereka menuduh amanat itu sebagai punca, pastilah isu Memali berlaku di Terengganu, bukan di Kedah.
9. Namun begitu, Presiden PAS berbesar hati untuk disiasat oleh RCI yang bakal dibentuk nanti. Jika Presiden PAS yang dituduh juga sanggup tampil membantu siasatan, mengapa pula pihak tertentu menikus dengan cuba mengalihkan isu? Sepatutnya biarlah jawatankuasa siasatan menjalankan tugasnya dengan kesemua pihak dapat dipanggil memberi keterangan supaya kebenaran dapat disingkap sejelasnya.
10. Penubuhan RCI isu Memali tidak memberi kredit kepada mana-mana pihak kerana yang paling utama, keadilan telah tertegak. Lagipun, rakyat akan menilai siapakah dalang sebenar kejadian tersebut. Ia juga menjadi penanda aras bahawa pihak manakah yang benar-benar memperjuangkan keadilan dan golongan manakah yang melakukan kezaliman atau hanya mengambil kesempatan terhadap sesuatu isu.
DR RIDUAN MOHD NOR
Ahli Jawatankuasa PAS Pusat
(26 Ogos 2017)
1. Isu Peristiwa Memali kembali menjadi polemik yang menghangatkan iklim politik negara sejak akhir-akhir ini. Tragedi yang berlaku lebih 30 tahun dahulu telah menjadi memori hitam dalam negara ini, menjadi episod luka buat umat Islam di negara ini. Tragedi menggemparkan itu telah mengorbankan As Syahid Ustaz Ibrahim Libya dan 13 orang pengikut beliau.
2. Bagi PAS, tragedi hitam itu menjadi titik penting bahawa perjuangan PAS bertunjangkan Islam tidak pernah sunyi dari dugaan dan cabaran getir sepanjang sejarah perjuangannya. As Syahid Ustaz Ibrahim Libya telah membayar harga perjuangan ini dengan kesyahidan beliau. Beliau menjadi mangsa kerakusan manusia yang tamak dan gila dalam mempertahankan kuasa.
3. Ketika isu Memali diangkat semula ke tengah masyarakat, sesetengah pihak menganggap ia isu politik yang sengaja dibesar-besarkan menjelang musim Pilihanraya Umum ke 14. Cadangan PAS untuk mewujudkan Suruhanjaya Di Raja (RCI) bagi menyiasat tragedi Memali dianggap sebagai mempolitikkan keadaan. Ramai menganggap PAS mahu melunas dendam lama yang terpendam. Ada pula yang menganggap ia memberi kredit kepada UMNO-BN. Pihak pembangkang menganggap isu ini sekadar untuk menjatuhkan kredibiliti Tun Dr Mahathir Mohamad sebagai Pengerusi Pakatan Harapan.
4. PAS sejak dahulu tetap istiqomah dalam isu Memali. Sejak awal kejadian itu, PAS tidak pernah menarik balik perjuangan mendapatkan keadilan untuk mangsa tragedi ini. Cadangan untuk menubuhkan Suruhanjaya Di Raja bagi menyiasat isu Memali bukan hari ini dilontarkan, tetapi telah dicadangkan oleh Presiden PAS ketika itu, Tuan Haji Yusuf Rawa pada 22 November 1985. PAS Pusat juga telah membuat keputusan rasmi dalam Mesyuarat Khas Jawatankuasa Kerja PAS Pusat pada 8 Disember 1985.
5. Kesyahidan Ustaz Ibrahim Libya dan pengikutnya seramai 13 orang diakui oleh kesemua pemimpin tertinggi PAS termasuk Tuan Guru Haji Yusuf Rawa, Datuk Fadzil Mohd Nor, dan Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Nik Mat. Bahkan para pemimpin PAN (Parti Amanah Negara) juga dahulunya lantang memperjuangkan isu Memali. Mengapa pula apabila PAS membangkitkan perkara ini sekarang, mereka pula menganggap PAS yang mempolemikkan keadaan? Siapa yang tidak konsisten dalam kenyataan, prinsip dan tindakan? Apakah para pemimpin PAN sudah berubah sikap dan tidak mengakui kesyahidan Ustaz Ibrahim Libya pula?
6. Isu Memali adalah tragedi kemanusiaan yang melibatkan darah dan nyawa. Lebih 30 tahun mangsa termasuk keluarga mereka memendam rasa dan menanggung penderitaan berat. Mereka juga telah dinafikan keadilan serta hak sewajarnya. Lebih malang lagi, sejak kejadian itu, mereka dituduh dengan pelbagai tuduhan liar dan dianggap sebagai penderhaka.
7. Penubuhan RCI menjawab persoalan mengapa isu ini terjadi, bagaimana ia berlaku dan siapa yang mengarahkan pembunuhan ini. Ketika ramai anggota polis yang terlibat menyatakan kekesalan serta dipaksa untuk bertindak, ia menimbulkan persoalan lebih besar, siapa yang mengarahkan mereka dan mengapa mereka sampai dibunuh.
8. Menuduh Presiden PAS, Dato’ Seri Tuan Guru Hj Abdul Hadi Awang dengan ‘Amanat Haji Hadi’ sebagai punca tercetusnya isu Memali adalah suatu usaha jahat pihak tertentu. Mereka seakan mahu memandang rendah tahap keilmuan As Syahid Ibrahim Libya dan pengikut-pengikutnya. Hakikatnya, As Syahid bukan orang jahil untuk bergantung taklid kpd "Amanat". Dia mengaji Islam sejak dari kecil dan telah merantau menuntut ilmu dalam dan luar negara. Jika benar mereka menuduh amanat itu sebagai punca, pastilah isu Memali berlaku di Terengganu, bukan di Kedah.
9. Namun begitu, Presiden PAS berbesar hati untuk disiasat oleh RCI yang bakal dibentuk nanti. Jika Presiden PAS yang dituduh juga sanggup tampil membantu siasatan, mengapa pula pihak tertentu menikus dengan cuba mengalihkan isu? Sepatutnya biarlah jawatankuasa siasatan menjalankan tugasnya dengan kesemua pihak dapat dipanggil memberi keterangan supaya kebenaran dapat disingkap sejelasnya.
10. Penubuhan RCI isu Memali tidak memberi kredit kepada mana-mana pihak kerana yang paling utama, keadilan telah tertegak. Lagipun, rakyat akan menilai siapakah dalang sebenar kejadian tersebut. Ia juga menjadi penanda aras bahawa pihak manakah yang benar-benar memperjuangkan keadilan dan golongan manakah yang melakukan kezaliman atau hanya mengambil kesempatan terhadap sesuatu isu.
DR RIDUAN MOHD NOR
Ahli Jawatankuasa PAS Pusat
PENGERTIAN ULAMA’ DAN CIRI-CIRI ULAMA'
oleh Ust. Idris Ahmad
Konsep ulama’ boleh ditakrif dengan berbagai difinasi yang berlandaskan latar belakang kesarjanaan atau disiplin ilmu masing-masing. Perkataan ulama’ itu adalah kata jamak dari perkataan “’Arab iaitu ‘Alim. Kemudian lahir pula perkataan ‘Alamah iaitu orang yang benar-benar mengerti atau mengetahui dengan mendalam hakikat sesuatu. (Muhamad Ismail, 1961:26.)
Menurut Dato’ Dr. Harun Din, dalam al-Quran karim terdapat dua kali sahaja perkataan ulama’ itu digunakan. Kedua-duanya merujuk kepada yang mendalami pengetahuan agama. Yang mendalami agama Islam diistilahkan dengan al-ulama’. Ada alif dan lam. Ini bererti bahawa ulama’ adalah istilah khusus yang dimaklumi bahwa hanya diguna pakai untuk yang mengetahui dan mendalami tentang agama Islam sahaja.
Di dalam bahasa arab ada banyak istilah selain ulama’ yang diguna bagi merujuk kepada bidang masing-masing. Contohnya (khabir atau khubara’ untuk pakar yang lain dari bidang agama), Muhtarif atau muhtarifun, Fanni atau fanniyyun yang merujuk kepada technician, Mahandis arkitek, Tabib akhsai pakar perubatan.
Seperkara lain yang patut disebut bahawa perkataan ulama ialah perkataan jama’. Kalau untuk seorang disebut alim (mufrad). Akan tetapi sudah menjadi penggunaan yang menyeluruh dipakai ulama’ untuk merujuk kepada seorang seperti imam Syafie adalah ulama’ terbilang.
Dibolehkan demikian kerana hakikatnya seorang alim dalam Islam memiliki dan mendalami berbagai bidang ilmu, ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya ilmu al-qawafi, badi’ maani, bayan, nahu saraf, usul feqh, ulum hadis, hadis, tafsir, ulum tafsir, ilmu al-adab al-arabi, arud, tarikh, mantiq, al-falsafah dan berbagai ilmu. (Dr. Harun Din, 2004: 7-8.)
Nizam Sakamat Sakjeha merumuskan pengertian ulama’ pada tanggapan masyarakat umum adalah mereka yang berat sangkaan mereka, amat ikhlas dalm melaksanakan tuntutan al-Quran dan al-Sunnah. Amat prihatin dan berusaha keras untuk menegakkan yang hak dan memerangi kebatilan, mereka adalah orang yang tidak mungkin tenggelam dalam hawa nafsu. Nizam Sakamat Sakjeha Nasaih wa Taujihat al-Mufakkirin wa Ulama’ al-Islam liljamaat wal ahzab al-Islamiah: 4
Menurut Jamal Mohd Lokman, menjelaskan secara estimologinya ulama’ membawa maksud “orang yang mengerti atau orang yang berilmu pengetahuan”, iaitu mengetahui hakikat sesuatu dengan penuh keyakinan. Jamal Mohd. Lokman Sulaiman, 1999:37.
Abi Talib dan Ismail Abdul Halim, Istilah ulama’ disandarkan kepada individu yang mengetahui mengenai al-Quran dan al-Sunnah serta memahami kedudukan hukum dan sumber hukum Islam yang berpandukan kepada sumber tersebut. (Abi Talib dan Ismail Abdul Halim, 1982:2. )
Mahyuddin Haji Yahya, di dalam Encyclopedia Sejarah Islam, para ulama’ ialah golongan penting kerana mereka merupakan pakar dalam bidang agama khususnya dalam bidang tafsir, feqah, hadis, Usuluddin dan segala cabang ilmu Islam. (Mahyuddin Haji Yahya, 1989:1708).
Al-Imam Abi Al-Qasim Jara Allah Mahmud Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari, Ulama’ ialah mereka yang mengetahui mengenai sifat Allah, keadilannya,ketauhidannya, sifat yang harus dan yang tidak harus keatasnya, maka mereka membesarkannya, membesarkan kekuasaanya. Orang yang ilmunya bertambah maka bertambah takut ia kepada Allah SWT. (Al-Imam Abi Al-Qasim Jara Allah Mahmud Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari, 1995:592-593.)
Menurut Syed Qutb mereka yang mengkaji al-Quran yang penuh keaijaiban dan mereka yang mengenal Allah dan mengetahui hakikat Allah, mengetahui kesan penciptaan Allah, mengetahui kesan kekuasaan Allah, dan bertaqwa kepada Allah, dan menyembah Allah dengan sebenar penyembahan. Ulama’ ialah orang yang mengetahui sifat Allah dan kebesarannya. Siapa yang bertambah ilmuya maka ia bertambah takut kepada Allah.( Syed Qutb, 1994:2943.)
Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), Orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berilmu. Berdasarkan kepada ayat Fatir: 28. di pangkal ayat Allah mengguna perkataan “Innama”. Menurut ahli nahu bahawa huruf “innama” itu ialah adaatu hasr yang ertinya “alat untuk membatas”. Sebab itu ertinya yang tepat dan jitu ialah “ hanya orang-orang yang berilmu jua yang akan merasa takut kepada Allah.
Kerana kalau tidak ada ilmu tidaklah orang akan takut kepada Allah. Kerana timbulnya satu ilmu setelah diselidiki. Maka jelaslah bahawa pangkal ayat tadi Allah telah berfirman “tidakkah engkau lihat” maka kalau tidak dilihat tidaklah akan tahu. Kalau sudah dilihat dan diketahui dengan sendirinya akan mengertilah bagaimana kebesaran Allah , kekuatanya dan keagunganya, merasa dirinya kerdil di hadapan kekuasaan Allah, dengan ini akan menimbulkan takut . Kalau takut telah timbul nescaya timbullah ketundukan , lalu segala perintahnya dilaksanakan dan larangannya dihentikan. .(Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), 1984: 300-301. )
Menurut Ibn Kathir Tidak lain orang yang merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama’ yang telah mencapai matlamat ma’rifat, iaitu mengenali tuhan menilik hasil kekusaannya dan kebesarannya. Maha besar, maha kuasa, yang maha berilmu yang mempunyai sifat kesempurnaan dan yang mempunyai Asma’ al-Husna. Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, ketakutan kepadanya bertambah besar dan bertambah banyak.
Imam Malik berkata” ulama’ bukanlah kerana banyak menghafaz riwayat hadis, bahkan ilmu ialah Nur yang dinyalakan tuhan dalam hati”.Hamka: 301
Menurut al-Syaukani ulama’ ialah mereka yang takut kepada Allah dan mengetahui bahawa Allah berkuasa atas sesuatu. Dan ulama’ ini bukan mereka yang banyak menghafaz hadis tetapi mereka yang memiliki ilmu dan takut dengan Allah SWT. (Muhammad Bin Ali Muhammad al-Syaukani: 459. )
Begitu juga al-Qurtubi menyebut bahawa ulama’ ialah seorang yang takut kekuasaan Allah dan yakin Allah berkuasa membalas atas maksiat yang di lakukan. Daripada Ibn. Abbas berkata ulama’ ialah yang mengetahui tentang tuhannya yang Rahman dan tidak syirik kepada Allah, dan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan memelihara peringatan Allah dan mengetahui bahawa semua yang dilakukan di bawah pengetahuannya. (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, juz 7:343-344.)
Dari Ibn Abi ‘Umrah dari ‘Akrimah dari Ibn Abbas katanya ulama’ ialah orang alim yang mengenal Allah dan tidak syirik kepadanya dan mengharamkan apa yang diharamkan dan memelihara wasiatnya”
Berkata Ahmad bin Saleh al-Misri dari Ibn Wahab dari Malik katanya” Sesungguhnya alim ialah bukan orang yang banyak meriwayat ,sebenarnya alim ialah ilmu yang dimilikinya bercahaya. Allah menjadikan bercahaya dalam hatinya. Tetapi mereka takut kepada Allah bukan semata-mata banyak mengetahui riwayat( ilmu) Sebaliknya ia mengetahui kefarduan dan mengikut kitab sunnah dan apa yang dilakukan oleh sahabat radhiallahuahum dan selepas dari mereka “ ”
al-Imam al-Maraghi ketika menafsirkan ayat dalam surah al-Fatir, Ulama’ ialah orang yang takut azab Allah dengan banyak melakukan kepadanya. Dengan ilmu yang mereka pelajari datanglah keyakinan, jika dibuat maksiat akan dibalas dengan siksa, demikian kalau dibuat baik maka mereka akan dibalas dengan syurga.
Menurut Ibn Abbas bahawa ulama’ ialah yang mengenal Allah dan takut kepadanya. (Muhammad Bin Ali Muhammad al-Syaukani, Tahqiq Dr. Abdul Rahman Umairah, Fathu al-Qadir, juz 4: 463)
Berkata Rabi’ Bin Anas “Siapa yang tidak takut kepada Allah maka ia bukan ulama’” (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, juz 7:343-344.)
Dari Ibn Abi ‘Umrah dari ‘Akrimah dari Ibn Abbas katanya ulama’ ialah orang alim yang mengenal Allah dan tidak syirik kepadanya dan mengharamkan apa yang diharamkan dan memelihara wasiatnya” (Imam Hafiz Jamaluddin abu al-Fida’ Ismail ibn Kathir al-Qudsi al-Dimasyqi, juz 3/ 4: 553-554.)
al-Hassan al-Basri ulama’ ialah orang yang takut kepada Allah dan cenderung melakukan apa yang Allah suka dan menjauhkan apa yang Allah murka” (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, 7/20: 343-344)
Sheikh Abul Aziz Badri ulama’ sebagai pewaris nabi iaitu yang menyambung kembali perjuangan dan dakwah para nabi. Ulama’ yang menjadi pewaris para nabi ialah ulama’ yang tidak takut kepada pemerintah yang zalim. Tidak takut kepada pihak yang kejam kerana kepatuhan mereka hanya kepada Allah SWT. (Sheikh Abul Aziz Badri, 1988:53. )
Berkata Ahmad bin Saleh al-Misri dari Ibn Wahab dari Malik katanya” Sesungguhnya alim ialah bukan orang yang banyak meriwayat ,sebenarnya alim ialah ilmu yang dimilkinya bercahaya. Allah menjadikan bercahaya dalam hatinya. Tetapi mereka takut kepada Allah bukan semata-mata banyak mengetahui riwayat( ilmu) Sebaliknya ia mengetahui kefarduan dan mengikut kitab sunnah dan apa yang dilakukan oleh sahabat radhiallahuahum dan selepas dari mereka “ (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, 343-344.)
Ibn. Masud berkata ketakutan kepada Allah petanda seorang itu alim. Yang berilmu bukanlah kerana ia banyak meriwayatkan hadis akan tetapi yang amat takut kepada Allah. Di tanya Saad bin Ibrahim siapakah yang paling alim di kalangan penduduk Madinah? Jawabnya orang yang paling takut kepada Allah.
Ali Bin Abi Talib pernah berkata seorang alim ialah seorang yag tidak pernah melakukan maksiat, tidak jemu mengingatkan dirinya dan manusia sekalian akan azab allah swt dan tidak membelakangi al-quran. (Al- Imam al-Qurtubi, juz 14:243)
Kesimpulannya
Secara umumnya perkataan ulama’ itu membawa satu pengertian yang luas, disandarkan kepada seorang yang memahami konsep agama secara syumul dan mendalam serta menzahirkanya dalam bentuk praktikal dan amalan hidup seharian. Apabila ulama’ dikaitkan dengan Islam ia berhubung rapat dengan Allah. Tidak cukup sekadar ada ilmu tetapi tidak takut kepada Allah SWT, begitu juga sebaliknya.
Ulama’ dikenali dengan ilmunya dan keteguhan pendiriannya. Mereka terpelihara daripada terjebak ke dalam perkara-perkara yang syubahat. Ulama’ dikenali dengan jihad, dakwah, pengorbanan dari segi waktu, harta benda, nyawa dan kesungguhan mereka di jalan Allah.
Ulama’ dikenali dengan ibadah dan khusyuk mereka
kepada Allah. Ulama’ dikenali dengan jauhnya mereka dari keburukan dunia dan pujuk rayunya. Ulama’ dikenali dengan pengakuan oleh umat Islam dan jumhurnya dari kalangan ahli hak.
Di antara perkara yang menunjukkan alimnya ulama’ dan kelebihannya ialah mengenai pengajiannya, fatwanya dan juga karangannya. Adapun pangkat dan jawatan atau yang seumpama dengannya, bukanlah dikira sebagai tanda yang menunjukkan kepada ilmunya. Ulama’ tidak ditentukan dan tidak dipilih melalui cara pengundian, tidak juga dengan cara penentuan jawatan.
Sebagaimana di antara kalangan alim ulama’ dalam tarikh ummah terserlah dan nyata sebutannya (masyhur), menjadi imam atau pemimpin kepada ummah sedang dia (alim ulama’) tidak mengenal dan menjawat kedudukan atau memegang jawatan. Seumpama Imam Ahmad dan Syeikh Islam Ibnu Taimiah sebagai dua contoh dalam tarikh yang panjang bagi ummah ini.
Ini tidak bermaksud setiap orang yang mempunyai jawatan dalam ilmu pengetahuan bukannya dia seorang yang alim, bahkan yang dimaksudkan di sini ialah kedudukan dan jawatan bukanlah dikira sebagai tanda yang menunjukkan ke atas ilmu, oleh itu kita dapati disana ada di antara kalangan para ulama’ yang dilantik oleh hakim(kerajaan) menjadi pemerintah, qodhi, mufti dan seumpama dengannya, bahkan kadang-kadang kita dapati pada zaman pemerintahan yang zalim tetap ada para qadhi yang adil dan para mufti yang boleh dipercayai.
Memiliki segulung ijazah bukanlah jambatan mendapat gelaran sebagai ulama’, apatah lagi jika tidak terpancar dari dirinya kehidupan ilmu. Ulama’ bukan sahaja ada ilmu malahan ia memberi sumbangan kepada masyarakat, perkembangan dakwah dan kemajuan negara. Mereka adalah yang dianugerahkan Allah dengan ilmu pengetahuan, kemahiran serta pengalaman yang meluas dan mendalami dalam hukum halal, hal ehwal Islam dan mampu melakukan istinbat hukum dengan sumber-sumber hukum yang betul dan asli; alquran dan al-Sunnah, ijma’ dan qias dan lain-lain sumber yang muktabar, dengan lain perkataan ulama’ dalah pakar rujuk agama yang berkemampuan (dari segi ilmu) dan disiplinnya.
Golongan ini juga mampu memahami , mengoalah serta menganalisa maqhasid syariah. Mereka adalah ahlul zikri yang boleh mengolah dan menganalisis kepentingan-kepentingan agama, nyawa, jiwa, akal dan intelektual, harta, nasab dan keturunan. Mereka juga mempunyai keperibadian yang mulia, dan dispilin yang tinggi dalam kehidupan.
Mereka tidak boleh berpura-pura atau double standard sebaliknya ikhlas dan jujur samaada dalam kehidupan mahupun dalam pandangan, idea serta nasihat mereka. Ulama’ sebenar tidak bersikap berat sebelah tidak menggunakan ilmu untuk kepentingan diri dan kumpulan tertentu sahaja.
Kedudukan mereka sebagai ulama’ adalah satu pengiktirafan masyarakat. Jadi golongan ulama’ bukanlah merupakan golongan yang sewenang-wenangnya menggelar diri mereka ulama’. Pengiktirafan masyarakat amat penting kerana ilmu, sahsiah dan cara hidup mereka diakui.
Ulama’ dahulu tidak mendapat apa apa sijil tetapi mereka diiktiraf oleh masyarakat sebagai al-Allamah (seorang berilmuan pengetahuan tinggi). Kualiti ilmu dan penyampaian ilmu membuahkan pengiktirapan masyarakat kepada mereka.
Dari semua kutipan dan penjelasan di atas menunjukkan bahawa ulama’ adalah merujuk kepada mereka yang mengetahui dan mendalami pengetahuan agama. Dengan pengetahuan ini menjadikan mereka patuh kepada hukum Allah. Amat takut kepada kemurkaan di dunia dan lebih-lebih lagi di akhirat.
Keistimewaan Ulama’
Firman Allah SWT
“Allah menyatakan bahawasanya tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana). (Surah al-Imran, 3:18)
Ayat ini menerangkan kedudukan ulama’, dalam soal menguatkan akidah, kedudukan ulama’ adalah amat tinggi, selepas kedudukan para malaikat. Menurut Ibn. Hajar para ulama’ yang beramal dengan ilmunya pada hakikatnya wali Allah. (Al-Zawajir 1/88)
Ini satu darjat ketinggian yang amat nyata dengan kedudukan yang penting itu para ulama’ sebenarnya bukanlah satu golongan yang tersisih dan diketepikan dari permasalahan hidup umat manusia dalam apa jua bentuk.
Banyak hadis yang menyatakan tentang ilmu dan ulama’. Ilmu yang diperolehi oleh ulama’ adalah diturunkan oleh Allah SWT. Ayat dan perkataan “Orang yang di kurniakan ilmu dan beberapa darjat”. Menunjukkan Allah mengurniakan ilmu dan kepandaian yang amat luas kepada manusia, ilmu itu lebih maju dan teratur daripada pengetahuan yang dikurniakan oleh Allah SWT kepada lain-lain makhluk seperti malaikat.
Di antara Hadis Rasulullah SAW . “ Ya Allah berilah rahmat kepada penggantiku. Para sahabat bertanya wahai Rasulullah siapakah pengganti-pengganti baginda. Jawab baginda “ Mereka itu orang yang datang selepas ku meriwayatkan hadis-hadis ku dan mengajarkannya kepada umat manusia”.
Ibn. Abbas menyatakan darjat ketinggian para ulama’` di atas orang mukmin biasa adalah sekira-kira 700 tahun perjalanan dan jauh di antara satu darjat dengan darjat yang lain adalah 500 tahun. (Azzawajir 1/89)
Ulama’ adalah petunjuk kepada hamba dan menara petunjuk kepada sebuah Negara, dan teras ummah dan sumber hikmah, mereka adalah kemarahan syaitan dengan mereka menghidupkan hati ahli kebenaran dan mematikan hati penyelewing.
Perumpamaan mereka di bumi seperti bintang di langit yang memberi penunjuk kepada orang di lautan dan daratan. Apabila bintang terpadam maka ia boleh mengeliru perjalanan. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:13.)
Apabila ulama’ tidak ada maka manusia tidak akan tahu bagaimana hendak menunaikan satu kefarduan dan bagaimana hendak menjauhkan perkara yang diharamkan, bagaimana hendak menyembah Allah. Jika ulama’ mati maka waktu itu akan melahirkan kejahilan dan merupakan satu musibah kepada manusia. Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:13.)
Ulama’ mempunyai kaitan yang rapat dengan ilmu, dengan sebab itu apabila ulama’ meninggal ilmu pun hilang. Kata-kata Ka’ab Bin Mani’c seorang tabiin yag masyhur telah berkata” Wajib keatas kamu memelihara ilmu sebelum ia hilang, kerana hilang ilmu kerana hilang ahlinya”. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:34.)
Hadis yang diriwayatkan daripada Muaz Bin Jabal :
“Belajarlah ilmu maka sesungguhnya mempelajari ilmu kerana Allah adalah untuk menakutkan dan menuntut ilmu adalah ibadah dan mempelajarinya adalah tasbih dan berbahas dengannya adalah jihad dan mengajarnya bagi orang yang tidak mengetahui adalah sedekah dan mengajar ahli keluarganya mengenai halal dan haram adalah satu usaha untuk mendekatkan diri dengan Allah kerana ia mengajar kepada benda halal dan haram dalam menakutkan kepada Allah dan menjadi rakan ketika kesunyian dan menjadi dalil ketika senang dan susah dan menjadi perhiasan ketika keseorangan dan menjadi rakan ketika berdagang dan Allah angkat darjat mereka dikalangan mereka dan menjadikan mereka pemimpin yang menjadi ikutan orang lain.
Kerana Ilmu menghidupkan hati yang buta dan memberi cahaya kepada yang gelap dan memberi satiap tenaga kepada yang lemah dan telah mencapai hamba ketahap yang merdeka dan menduduki bersama raja-raja dan mencapai darjat yang tinggi di dunia dan juga akhirat.
Dengan ilmu ia boleh taat kepada Allah SWT, dengan ilmu ia menyembah Allah dengan ilmu ia menghubungkan tali sillturrahim, dengan ilmu ia dapat mengetahui yang halal dan yang haram dan menjadi perintis kepada amal. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:35-36.)
Luqman Hakim pernah berkata kepada anaknya
Wahai anakkku duduklah dengan ulama’ dan rapatkan kedua lutut kamu sesungguhnya Allah menghidupkan hati dengan ilmu seperti menghidupkan bumi dengan turunnya hujan” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:43.)
Nasihat Luqman juga “Jangan kamu duduk bertengkar dengan ulama’ maka kelak kamu akan hina dan jangan kamu bertengkar dengan orang yang bodoh maka mereka akan memaki kamu sebaliknya kamu sabar bagi orang yang yang lebih tinggi ilmu daripada kamu dan orang yang lebih rendah ilmu daripada kamu. Maka hendaklah kamu bersama dengan ulama’ dan sabar bagi mereka dan mengambil daripada mereka ilmu” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:43.)
Malik bin Anas berkata
“Jangan ambil ilmu daripada 4 golongan ini,
a. Orang yang terkenal bodoh
b. Oran yang terkenal dengan ikut hawa nafsu.
c. Orang yang menyeru kepada hawa nafsu.
d. Lelaki yang ada kelebihan dan tidak tahu apa yang diucapkan. ”
(Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:91-92.)
Ciri-Ciri Ulama’
1.Sentiasa tawaduk dengan ilmunya
2.Dia tidak menuntut kemuliaan disisi pemerintah dengan ilmunya
3. Katakan Wallahua’lam jika tidak tahu. Daripada Abdullah Ibn Masud
“Wahai manusia apabila ditanya dari perkara ilmu yang kamu tahu maka kamu jawab, jika kamu tidak tahu maka katakanlah Allah a’lam. ” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:92.)
4.Dan tiada menjadikan ilmu tadi sebagai barang dagangan
5. Tidak menjadikan ilmunya untuk mendekatkan dunia dan menjauhkan orang faqir
6.Tawaduk dengan orang faqir dan orang yang saleh
7.Apabila ia berada di dalam majlisnya maka ia sabar atas orang yang lambat faham dengan hal ehwal agamanya sehingga ia menjawab dengan lembut dan beradab.
8. Ulamak mesti beramal dengan ilmunya
Sabda Rasulullah SAW “ Sedahsyat-dahsyat manusia yang diazab di hari qiamat ialah seoang alim yang tidak bermanfaat imunya”. (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:92.)
Kata Fudhail bin ‘Iyyad,
Awal ilmu ialah diam, kemudian mendengar, kemudian hafal kemudian beramal dan menyebarkan .
Begitu juga dengan kata-kata Ibn. Mubarak
“awal imu ialah diam, kemudian memperdengar, kemudian memberi faham, kemudian menghafaz kemudian beramal” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:46.)
9. Apabila disoal kepadanya perkara yang provokasi yang akan menimbulkkan fitnah di kalangan orang muslimin maka ia minta elak dan minta supaya soalan ini ditanya kepada orang yang lebih aula daripadanya
10. Ulama’ ia tidak akan bertengkar dan memperbodohkan orang lain.
11. Mengajar orang lain kepada tuhannya dan memperingatkan bagi mereka yang lupa. Mengajar bagi mereka yang jahil dan meletakan hikmah kepada ahlinya. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, Akhlaq al-Ulama’, 1996/1417, t.tpt, hlm, 50-53)
12.Sentiasa bersyukur kepada Allah SWT .
13. Sentiasa berzikir kepada Allah .
14.Hatinya sentiasa bermunajat dengan Allah .
15.Haya bergantung kepada Allah dan tidak takut kepada lain daripada Allah.
16. Sentiasa beradab dengan Quran dan Sunnah .
17. Tidak berlumba dengan ahli dunia dalam menuntut kemuliaan.
18.Berjalan atas muka bumi dengan tunduk dan patuh.
19. Sibuk hatinya menuntut kefahaman dan iktibar.
20. Sentiasa menyebut nama Allah bersama bersama orang berzikir
21.Lidahnya sentiasa menyebut nama Allah
Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, Akhlaq al-Ulama’, t.tpt 1996/1417,hlm:13,
22.Sentiasa dahagakan ilmu.
Kata-kata Ibn. Masud”Dua perkara yang tidak pernah kenyang iaitu orang yang ada ilmu yang sentiasa menambahkan rida Allah dan ahli dunia yang berusaha menghimpunkan harta.
Kata-kata Masruq seorang Tabiin di zaman Abu Bakar, Saidina Umar, Saidina Ali dan Saidina Osman “ Tanda seorang yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah dan tanda orang yang jahil ialah orang yang kagum dengan ilmunya” Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:64.)
23.Tidak berkompromi dengan maksiat yang dilakukan oleh pemerintah.
Daripada Ummu Salamah berkata” Bersabda Rasulullah SAW” Adalah atas kamu pemimpin, kamu kenal mereka dan kamu engkar, maka sesiapa yang ingkar maka ia telah melepaskan diri dan siapa yang benci maka ia selamat, dan tetapi siapa yang ridha dan mengikutnya maka dijauhkan oleh Allah kepadanya oleh Allah”. Maka dikatakan Wahai Rasulullah Apakah kamu perangi mereka tetapi baginda menjawab “tidak , selagi mereka solat”. Sahih Muslim: 1854
24.Orang alim musuh iblis
“Sabda Rasulullah SAW Seorang faqih begitu susah atas iblis, berbading dengan 1000 orang jahil” Kitab Ilmu Turmizi
25.Para ulama’ hendaklah mempunyai iltizam qiadi atau iltizam kepimpinan, kerana ulama’ adalah pemimpin masyarakat dan ummah seperti para Rasul SAW . Firman Allah “ Dan ingatlah ketika nabi Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimah (perintah suruhan dan larangan) maka nabi Ibrahim pun menyempurnakannya. Allah berfirman: “….Sesungguhnya aku akan melantik mu menjadi pemimpin bagi umat manusia..” (al-Baqarah,2:124)
Dengan demikian ulama’ bukan sekadar mengetahui tentang hukum hakam yang terbatas, bukan orang yang mengaji kitab feqah dan bukan juga ditentukan oleh serban dan jubah besar. Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar, , Bandung: Yayasan Latimojong, cet. Pertama, juz 22/30, 1984, hlm. 302-303.
Sebab itu ulama’ yang layak memimpin mereka mestilah meniru sikap dan akhlak nabi, maka barulah layak mereka menjadi pemimpin.
“Para ulama’ adalah pewaris nabi-nabi dan sesungguhnya para nabi tidak meninggalkan wang emas atau perak, tetapi mereka meninggalkan ilmu, sesiapa yang mengambilnya maka sesungguhnya ia telah mengambil habuan yang cukup”. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, Akhlaq al-Ulama’: 19)
Sebab itulah para ulama’ mereka yang layak mewaris nabi kerana nabi hanya meninggalkan ilmu dan mereka yang boleh memahami apa yang nabi tinggal ialah ulama’.
26. Keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah
Kata Imam Ghazali : Maka inilah dia perjalanan ulama’ dan juga adat mereka pada menyeru ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran, kurangnya mereka bergaul dengan pihak pemerintah dan akan tetapi mereka menyerahkan kepada kuasa Allah Taala untuk mengawasi mereka, mereka redho dengan ketetapan Allah Taala supaya dianugerahkan kepada mereka syahadah di jalanNya. Ketika mereka mengikhlaskan niat kerana Allah maka kalam-kalam mereka memberi kesan pada hati yang keras maka dengannya lembutlah hati dan hilanglah kekerasannya.
27. Bertolak ansur tolak ansur. Tidak fanatik dengan pandangannya sahaja. Contoh Imam-Imam mazhab boleh dijadikan ukuran.
Diriwayatkan bahawa Imam Shafie telah mengatakan “Seluruh manusia dalam bidang fiqah adalah keluarga Abu Hanifah” Beliau juga melaku kan solat subuh dekat kubur Abu Hanifah, beliau tidak melakukan qunut, beliau berbuat demikian kerana menghormati Abu Hanifah yng negatakan qunut tidak ada dalam solat subuh dan untuik mengajar pengikutnya supaya bertolak ansur kepada mazhab berkenaan. (Mohd. Radzi Othman dan O.K. Rahmat, 1996:61)
Kiyai Hasyim Asyaari, daripada Nahdatul Ulama, sebuah organisasi kaum tua mengatakan umat Islam agar jangan taksub kepada setengah mazhab atau setengah hukum di dalam soal furuk. Yang utama bagi umat Islam ialah membela Islam dan berjuang menentang orang yang menolak al-Quran.
Berjihad menghadapi musuh adalah wajib. Adapun taksub pada satu mazhab dan satu qaul ini tidak disukai oleh Allah. Apatah lagi sehingga mendorong kepada berebut-rebut dan berdengkian. (Umar Hasyim , 1982:232-233.
Konsep ulama’ boleh ditakrif dengan berbagai difinasi yang berlandaskan latar belakang kesarjanaan atau disiplin ilmu masing-masing. Perkataan ulama’ itu adalah kata jamak dari perkataan “’Arab iaitu ‘Alim. Kemudian lahir pula perkataan ‘Alamah iaitu orang yang benar-benar mengerti atau mengetahui dengan mendalam hakikat sesuatu. (Muhamad Ismail, 1961:26.)
Menurut Dato’ Dr. Harun Din, dalam al-Quran karim terdapat dua kali sahaja perkataan ulama’ itu digunakan. Kedua-duanya merujuk kepada yang mendalami pengetahuan agama. Yang mendalami agama Islam diistilahkan dengan al-ulama’. Ada alif dan lam. Ini bererti bahawa ulama’ adalah istilah khusus yang dimaklumi bahwa hanya diguna pakai untuk yang mengetahui dan mendalami tentang agama Islam sahaja.
Di dalam bahasa arab ada banyak istilah selain ulama’ yang diguna bagi merujuk kepada bidang masing-masing. Contohnya (khabir atau khubara’ untuk pakar yang lain dari bidang agama), Muhtarif atau muhtarifun, Fanni atau fanniyyun yang merujuk kepada technician, Mahandis arkitek, Tabib akhsai pakar perubatan.
Seperkara lain yang patut disebut bahawa perkataan ulama ialah perkataan jama’. Kalau untuk seorang disebut alim (mufrad). Akan tetapi sudah menjadi penggunaan yang menyeluruh dipakai ulama’ untuk merujuk kepada seorang seperti imam Syafie adalah ulama’ terbilang.
Dibolehkan demikian kerana hakikatnya seorang alim dalam Islam memiliki dan mendalami berbagai bidang ilmu, ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya ilmu al-qawafi, badi’ maani, bayan, nahu saraf, usul feqh, ulum hadis, hadis, tafsir, ulum tafsir, ilmu al-adab al-arabi, arud, tarikh, mantiq, al-falsafah dan berbagai ilmu. (Dr. Harun Din, 2004: 7-8.)
Nizam Sakamat Sakjeha merumuskan pengertian ulama’ pada tanggapan masyarakat umum adalah mereka yang berat sangkaan mereka, amat ikhlas dalm melaksanakan tuntutan al-Quran dan al-Sunnah. Amat prihatin dan berusaha keras untuk menegakkan yang hak dan memerangi kebatilan, mereka adalah orang yang tidak mungkin tenggelam dalam hawa nafsu. Nizam Sakamat Sakjeha Nasaih wa Taujihat al-Mufakkirin wa Ulama’ al-Islam liljamaat wal ahzab al-Islamiah: 4
Menurut Jamal Mohd Lokman, menjelaskan secara estimologinya ulama’ membawa maksud “orang yang mengerti atau orang yang berilmu pengetahuan”, iaitu mengetahui hakikat sesuatu dengan penuh keyakinan. Jamal Mohd. Lokman Sulaiman, 1999:37.
Abi Talib dan Ismail Abdul Halim, Istilah ulama’ disandarkan kepada individu yang mengetahui mengenai al-Quran dan al-Sunnah serta memahami kedudukan hukum dan sumber hukum Islam yang berpandukan kepada sumber tersebut. (Abi Talib dan Ismail Abdul Halim, 1982:2. )
Mahyuddin Haji Yahya, di dalam Encyclopedia Sejarah Islam, para ulama’ ialah golongan penting kerana mereka merupakan pakar dalam bidang agama khususnya dalam bidang tafsir, feqah, hadis, Usuluddin dan segala cabang ilmu Islam. (Mahyuddin Haji Yahya, 1989:1708).
Al-Imam Abi Al-Qasim Jara Allah Mahmud Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari, Ulama’ ialah mereka yang mengetahui mengenai sifat Allah, keadilannya,ketauhidannya, sifat yang harus dan yang tidak harus keatasnya, maka mereka membesarkannya, membesarkan kekuasaanya. Orang yang ilmunya bertambah maka bertambah takut ia kepada Allah SWT. (Al-Imam Abi Al-Qasim Jara Allah Mahmud Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari, 1995:592-593.)
Menurut Syed Qutb mereka yang mengkaji al-Quran yang penuh keaijaiban dan mereka yang mengenal Allah dan mengetahui hakikat Allah, mengetahui kesan penciptaan Allah, mengetahui kesan kekuasaan Allah, dan bertaqwa kepada Allah, dan menyembah Allah dengan sebenar penyembahan. Ulama’ ialah orang yang mengetahui sifat Allah dan kebesarannya. Siapa yang bertambah ilmuya maka ia bertambah takut kepada Allah.( Syed Qutb, 1994:2943.)
Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), Orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berilmu. Berdasarkan kepada ayat Fatir: 28. di pangkal ayat Allah mengguna perkataan “Innama”. Menurut ahli nahu bahawa huruf “innama” itu ialah adaatu hasr yang ertinya “alat untuk membatas”. Sebab itu ertinya yang tepat dan jitu ialah “ hanya orang-orang yang berilmu jua yang akan merasa takut kepada Allah.
Kerana kalau tidak ada ilmu tidaklah orang akan takut kepada Allah. Kerana timbulnya satu ilmu setelah diselidiki. Maka jelaslah bahawa pangkal ayat tadi Allah telah berfirman “tidakkah engkau lihat” maka kalau tidak dilihat tidaklah akan tahu. Kalau sudah dilihat dan diketahui dengan sendirinya akan mengertilah bagaimana kebesaran Allah , kekuatanya dan keagunganya, merasa dirinya kerdil di hadapan kekuasaan Allah, dengan ini akan menimbulkan takut . Kalau takut telah timbul nescaya timbullah ketundukan , lalu segala perintahnya dilaksanakan dan larangannya dihentikan. .(Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), 1984: 300-301. )
Menurut Ibn Kathir Tidak lain orang yang merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama’ yang telah mencapai matlamat ma’rifat, iaitu mengenali tuhan menilik hasil kekusaannya dan kebesarannya. Maha besar, maha kuasa, yang maha berilmu yang mempunyai sifat kesempurnaan dan yang mempunyai Asma’ al-Husna. Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadapnya bertambah matang, ketakutan kepadanya bertambah besar dan bertambah banyak.
Imam Malik berkata” ulama’ bukanlah kerana banyak menghafaz riwayat hadis, bahkan ilmu ialah Nur yang dinyalakan tuhan dalam hati”.Hamka: 301
Menurut al-Syaukani ulama’ ialah mereka yang takut kepada Allah dan mengetahui bahawa Allah berkuasa atas sesuatu. Dan ulama’ ini bukan mereka yang banyak menghafaz hadis tetapi mereka yang memiliki ilmu dan takut dengan Allah SWT. (Muhammad Bin Ali Muhammad al-Syaukani: 459. )
Begitu juga al-Qurtubi menyebut bahawa ulama’ ialah seorang yang takut kekuasaan Allah dan yakin Allah berkuasa membalas atas maksiat yang di lakukan. Daripada Ibn. Abbas berkata ulama’ ialah yang mengetahui tentang tuhannya yang Rahman dan tidak syirik kepada Allah, dan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan memelihara peringatan Allah dan mengetahui bahawa semua yang dilakukan di bawah pengetahuannya. (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, juz 7:343-344.)
Dari Ibn Abi ‘Umrah dari ‘Akrimah dari Ibn Abbas katanya ulama’ ialah orang alim yang mengenal Allah dan tidak syirik kepadanya dan mengharamkan apa yang diharamkan dan memelihara wasiatnya”
Berkata Ahmad bin Saleh al-Misri dari Ibn Wahab dari Malik katanya” Sesungguhnya alim ialah bukan orang yang banyak meriwayat ,sebenarnya alim ialah ilmu yang dimilikinya bercahaya. Allah menjadikan bercahaya dalam hatinya. Tetapi mereka takut kepada Allah bukan semata-mata banyak mengetahui riwayat( ilmu) Sebaliknya ia mengetahui kefarduan dan mengikut kitab sunnah dan apa yang dilakukan oleh sahabat radhiallahuahum dan selepas dari mereka “ ”
al-Imam al-Maraghi ketika menafsirkan ayat dalam surah al-Fatir, Ulama’ ialah orang yang takut azab Allah dengan banyak melakukan kepadanya. Dengan ilmu yang mereka pelajari datanglah keyakinan, jika dibuat maksiat akan dibalas dengan siksa, demikian kalau dibuat baik maka mereka akan dibalas dengan syurga.
Menurut Ibn Abbas bahawa ulama’ ialah yang mengenal Allah dan takut kepadanya. (Muhammad Bin Ali Muhammad al-Syaukani, Tahqiq Dr. Abdul Rahman Umairah, Fathu al-Qadir, juz 4: 463)
Berkata Rabi’ Bin Anas “Siapa yang tidak takut kepada Allah maka ia bukan ulama’” (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, juz 7:343-344.)
Dari Ibn Abi ‘Umrah dari ‘Akrimah dari Ibn Abbas katanya ulama’ ialah orang alim yang mengenal Allah dan tidak syirik kepadanya dan mengharamkan apa yang diharamkan dan memelihara wasiatnya” (Imam Hafiz Jamaluddin abu al-Fida’ Ismail ibn Kathir al-Qudsi al-Dimasyqi, juz 3/ 4: 553-554.)
al-Hassan al-Basri ulama’ ialah orang yang takut kepada Allah dan cenderung melakukan apa yang Allah suka dan menjauhkan apa yang Allah murka” (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, 7/20: 343-344)
Sheikh Abul Aziz Badri ulama’ sebagai pewaris nabi iaitu yang menyambung kembali perjuangan dan dakwah para nabi. Ulama’ yang menjadi pewaris para nabi ialah ulama’ yang tidak takut kepada pemerintah yang zalim. Tidak takut kepada pihak yang kejam kerana kepatuhan mereka hanya kepada Allah SWT. (Sheikh Abul Aziz Badri, 1988:53. )
Berkata Ahmad bin Saleh al-Misri dari Ibn Wahab dari Malik katanya” Sesungguhnya alim ialah bukan orang yang banyak meriwayat ,sebenarnya alim ialah ilmu yang dimilkinya bercahaya. Allah menjadikan bercahaya dalam hatinya. Tetapi mereka takut kepada Allah bukan semata-mata banyak mengetahui riwayat( ilmu) Sebaliknya ia mengetahui kefarduan dan mengikut kitab sunnah dan apa yang dilakukan oleh sahabat radhiallahuahum dan selepas dari mereka “ (Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, 343-344.)
Ibn. Masud berkata ketakutan kepada Allah petanda seorang itu alim. Yang berilmu bukanlah kerana ia banyak meriwayatkan hadis akan tetapi yang amat takut kepada Allah. Di tanya Saad bin Ibrahim siapakah yang paling alim di kalangan penduduk Madinah? Jawabnya orang yang paling takut kepada Allah.
Ali Bin Abi Talib pernah berkata seorang alim ialah seorang yag tidak pernah melakukan maksiat, tidak jemu mengingatkan dirinya dan manusia sekalian akan azab allah swt dan tidak membelakangi al-quran. (Al- Imam al-Qurtubi, juz 14:243)
Kesimpulannya
Secara umumnya perkataan ulama’ itu membawa satu pengertian yang luas, disandarkan kepada seorang yang memahami konsep agama secara syumul dan mendalam serta menzahirkanya dalam bentuk praktikal dan amalan hidup seharian. Apabila ulama’ dikaitkan dengan Islam ia berhubung rapat dengan Allah. Tidak cukup sekadar ada ilmu tetapi tidak takut kepada Allah SWT, begitu juga sebaliknya.
Ulama’ dikenali dengan ilmunya dan keteguhan pendiriannya. Mereka terpelihara daripada terjebak ke dalam perkara-perkara yang syubahat. Ulama’ dikenali dengan jihad, dakwah, pengorbanan dari segi waktu, harta benda, nyawa dan kesungguhan mereka di jalan Allah.
Ulama’ dikenali dengan ibadah dan khusyuk mereka
kepada Allah. Ulama’ dikenali dengan jauhnya mereka dari keburukan dunia dan pujuk rayunya. Ulama’ dikenali dengan pengakuan oleh umat Islam dan jumhurnya dari kalangan ahli hak.
Di antara perkara yang menunjukkan alimnya ulama’ dan kelebihannya ialah mengenai pengajiannya, fatwanya dan juga karangannya. Adapun pangkat dan jawatan atau yang seumpama dengannya, bukanlah dikira sebagai tanda yang menunjukkan kepada ilmunya. Ulama’ tidak ditentukan dan tidak dipilih melalui cara pengundian, tidak juga dengan cara penentuan jawatan.
Sebagaimana di antara kalangan alim ulama’ dalam tarikh ummah terserlah dan nyata sebutannya (masyhur), menjadi imam atau pemimpin kepada ummah sedang dia (alim ulama’) tidak mengenal dan menjawat kedudukan atau memegang jawatan. Seumpama Imam Ahmad dan Syeikh Islam Ibnu Taimiah sebagai dua contoh dalam tarikh yang panjang bagi ummah ini.
Ini tidak bermaksud setiap orang yang mempunyai jawatan dalam ilmu pengetahuan bukannya dia seorang yang alim, bahkan yang dimaksudkan di sini ialah kedudukan dan jawatan bukanlah dikira sebagai tanda yang menunjukkan ke atas ilmu, oleh itu kita dapati disana ada di antara kalangan para ulama’ yang dilantik oleh hakim(kerajaan) menjadi pemerintah, qodhi, mufti dan seumpama dengannya, bahkan kadang-kadang kita dapati pada zaman pemerintahan yang zalim tetap ada para qadhi yang adil dan para mufti yang boleh dipercayai.
Memiliki segulung ijazah bukanlah jambatan mendapat gelaran sebagai ulama’, apatah lagi jika tidak terpancar dari dirinya kehidupan ilmu. Ulama’ bukan sahaja ada ilmu malahan ia memberi sumbangan kepada masyarakat, perkembangan dakwah dan kemajuan negara. Mereka adalah yang dianugerahkan Allah dengan ilmu pengetahuan, kemahiran serta pengalaman yang meluas dan mendalami dalam hukum halal, hal ehwal Islam dan mampu melakukan istinbat hukum dengan sumber-sumber hukum yang betul dan asli; alquran dan al-Sunnah, ijma’ dan qias dan lain-lain sumber yang muktabar, dengan lain perkataan ulama’ dalah pakar rujuk agama yang berkemampuan (dari segi ilmu) dan disiplinnya.
Golongan ini juga mampu memahami , mengoalah serta menganalisa maqhasid syariah. Mereka adalah ahlul zikri yang boleh mengolah dan menganalisis kepentingan-kepentingan agama, nyawa, jiwa, akal dan intelektual, harta, nasab dan keturunan. Mereka juga mempunyai keperibadian yang mulia, dan dispilin yang tinggi dalam kehidupan.
Mereka tidak boleh berpura-pura atau double standard sebaliknya ikhlas dan jujur samaada dalam kehidupan mahupun dalam pandangan, idea serta nasihat mereka. Ulama’ sebenar tidak bersikap berat sebelah tidak menggunakan ilmu untuk kepentingan diri dan kumpulan tertentu sahaja.
Kedudukan mereka sebagai ulama’ adalah satu pengiktirafan masyarakat. Jadi golongan ulama’ bukanlah merupakan golongan yang sewenang-wenangnya menggelar diri mereka ulama’. Pengiktirafan masyarakat amat penting kerana ilmu, sahsiah dan cara hidup mereka diakui.
Ulama’ dahulu tidak mendapat apa apa sijil tetapi mereka diiktiraf oleh masyarakat sebagai al-Allamah (seorang berilmuan pengetahuan tinggi). Kualiti ilmu dan penyampaian ilmu membuahkan pengiktirapan masyarakat kepada mereka.
Dari semua kutipan dan penjelasan di atas menunjukkan bahawa ulama’ adalah merujuk kepada mereka yang mengetahui dan mendalami pengetahuan agama. Dengan pengetahuan ini menjadikan mereka patuh kepada hukum Allah. Amat takut kepada kemurkaan di dunia dan lebih-lebih lagi di akhirat.
Keistimewaan Ulama’
Firman Allah SWT
“Allah menyatakan bahawasanya tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia, yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana). (Surah al-Imran, 3:18)
Ayat ini menerangkan kedudukan ulama’, dalam soal menguatkan akidah, kedudukan ulama’ adalah amat tinggi, selepas kedudukan para malaikat. Menurut Ibn. Hajar para ulama’ yang beramal dengan ilmunya pada hakikatnya wali Allah. (Al-Zawajir 1/88)
Ini satu darjat ketinggian yang amat nyata dengan kedudukan yang penting itu para ulama’ sebenarnya bukanlah satu golongan yang tersisih dan diketepikan dari permasalahan hidup umat manusia dalam apa jua bentuk.
Banyak hadis yang menyatakan tentang ilmu dan ulama’. Ilmu yang diperolehi oleh ulama’ adalah diturunkan oleh Allah SWT. Ayat dan perkataan “Orang yang di kurniakan ilmu dan beberapa darjat”. Menunjukkan Allah mengurniakan ilmu dan kepandaian yang amat luas kepada manusia, ilmu itu lebih maju dan teratur daripada pengetahuan yang dikurniakan oleh Allah SWT kepada lain-lain makhluk seperti malaikat.
Di antara Hadis Rasulullah SAW . “ Ya Allah berilah rahmat kepada penggantiku. Para sahabat bertanya wahai Rasulullah siapakah pengganti-pengganti baginda. Jawab baginda “ Mereka itu orang yang datang selepas ku meriwayatkan hadis-hadis ku dan mengajarkannya kepada umat manusia”.
Ibn. Abbas menyatakan darjat ketinggian para ulama’` di atas orang mukmin biasa adalah sekira-kira 700 tahun perjalanan dan jauh di antara satu darjat dengan darjat yang lain adalah 500 tahun. (Azzawajir 1/89)
Ulama’ adalah petunjuk kepada hamba dan menara petunjuk kepada sebuah Negara, dan teras ummah dan sumber hikmah, mereka adalah kemarahan syaitan dengan mereka menghidupkan hati ahli kebenaran dan mematikan hati penyelewing.
Perumpamaan mereka di bumi seperti bintang di langit yang memberi penunjuk kepada orang di lautan dan daratan. Apabila bintang terpadam maka ia boleh mengeliru perjalanan. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:13.)
Apabila ulama’ tidak ada maka manusia tidak akan tahu bagaimana hendak menunaikan satu kefarduan dan bagaimana hendak menjauhkan perkara yang diharamkan, bagaimana hendak menyembah Allah. Jika ulama’ mati maka waktu itu akan melahirkan kejahilan dan merupakan satu musibah kepada manusia. Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:13.)
Ulama’ mempunyai kaitan yang rapat dengan ilmu, dengan sebab itu apabila ulama’ meninggal ilmu pun hilang. Kata-kata Ka’ab Bin Mani’c seorang tabiin yag masyhur telah berkata” Wajib keatas kamu memelihara ilmu sebelum ia hilang, kerana hilang ilmu kerana hilang ahlinya”. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:34.)
Hadis yang diriwayatkan daripada Muaz Bin Jabal :
“Belajarlah ilmu maka sesungguhnya mempelajari ilmu kerana Allah adalah untuk menakutkan dan menuntut ilmu adalah ibadah dan mempelajarinya adalah tasbih dan berbahas dengannya adalah jihad dan mengajarnya bagi orang yang tidak mengetahui adalah sedekah dan mengajar ahli keluarganya mengenai halal dan haram adalah satu usaha untuk mendekatkan diri dengan Allah kerana ia mengajar kepada benda halal dan haram dalam menakutkan kepada Allah dan menjadi rakan ketika kesunyian dan menjadi dalil ketika senang dan susah dan menjadi perhiasan ketika keseorangan dan menjadi rakan ketika berdagang dan Allah angkat darjat mereka dikalangan mereka dan menjadikan mereka pemimpin yang menjadi ikutan orang lain.
Kerana Ilmu menghidupkan hati yang buta dan memberi cahaya kepada yang gelap dan memberi satiap tenaga kepada yang lemah dan telah mencapai hamba ketahap yang merdeka dan menduduki bersama raja-raja dan mencapai darjat yang tinggi di dunia dan juga akhirat.
Dengan ilmu ia boleh taat kepada Allah SWT, dengan ilmu ia menyembah Allah dengan ilmu ia menghubungkan tali sillturrahim, dengan ilmu ia dapat mengetahui yang halal dan yang haram dan menjadi perintis kepada amal. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:35-36.)
Luqman Hakim pernah berkata kepada anaknya
Wahai anakkku duduklah dengan ulama’ dan rapatkan kedua lutut kamu sesungguhnya Allah menghidupkan hati dengan ilmu seperti menghidupkan bumi dengan turunnya hujan” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:43.)
Nasihat Luqman juga “Jangan kamu duduk bertengkar dengan ulama’ maka kelak kamu akan hina dan jangan kamu bertengkar dengan orang yang bodoh maka mereka akan memaki kamu sebaliknya kamu sabar bagi orang yang yang lebih tinggi ilmu daripada kamu dan orang yang lebih rendah ilmu daripada kamu. Maka hendaklah kamu bersama dengan ulama’ dan sabar bagi mereka dan mengambil daripada mereka ilmu” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:43.)
Malik bin Anas berkata
“Jangan ambil ilmu daripada 4 golongan ini,
a. Orang yang terkenal bodoh
b. Oran yang terkenal dengan ikut hawa nafsu.
c. Orang yang menyeru kepada hawa nafsu.
d. Lelaki yang ada kelebihan dan tidak tahu apa yang diucapkan. ”
(Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:91-92.)
Ciri-Ciri Ulama’
1.Sentiasa tawaduk dengan ilmunya
2.Dia tidak menuntut kemuliaan disisi pemerintah dengan ilmunya
3. Katakan Wallahua’lam jika tidak tahu. Daripada Abdullah Ibn Masud
“Wahai manusia apabila ditanya dari perkara ilmu yang kamu tahu maka kamu jawab, jika kamu tidak tahu maka katakanlah Allah a’lam. ” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:92.)
4.Dan tiada menjadikan ilmu tadi sebagai barang dagangan
5. Tidak menjadikan ilmunya untuk mendekatkan dunia dan menjauhkan orang faqir
6.Tawaduk dengan orang faqir dan orang yang saleh
7.Apabila ia berada di dalam majlisnya maka ia sabar atas orang yang lambat faham dengan hal ehwal agamanya sehingga ia menjawab dengan lembut dan beradab.
8. Ulamak mesti beramal dengan ilmunya
Sabda Rasulullah SAW “ Sedahsyat-dahsyat manusia yang diazab di hari qiamat ialah seoang alim yang tidak bermanfaat imunya”. (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:92.)
Kata Fudhail bin ‘Iyyad,
Awal ilmu ialah diam, kemudian mendengar, kemudian hafal kemudian beramal dan menyebarkan .
Begitu juga dengan kata-kata Ibn. Mubarak
“awal imu ialah diam, kemudian memperdengar, kemudian memberi faham, kemudian menghafaz kemudian beramal” (Muhammad Ibn. Abdul Bar bin Asim al-Namari, 1994:46.)
9. Apabila disoal kepadanya perkara yang provokasi yang akan menimbulkkan fitnah di kalangan orang muslimin maka ia minta elak dan minta supaya soalan ini ditanya kepada orang yang lebih aula daripadanya
10. Ulama’ ia tidak akan bertengkar dan memperbodohkan orang lain.
11. Mengajar orang lain kepada tuhannya dan memperingatkan bagi mereka yang lupa. Mengajar bagi mereka yang jahil dan meletakan hikmah kepada ahlinya. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, Akhlaq al-Ulama’, 1996/1417, t.tpt, hlm, 50-53)
12.Sentiasa bersyukur kepada Allah SWT .
13. Sentiasa berzikir kepada Allah .
14.Hatinya sentiasa bermunajat dengan Allah .
15.Haya bergantung kepada Allah dan tidak takut kepada lain daripada Allah.
16. Sentiasa beradab dengan Quran dan Sunnah .
17. Tidak berlumba dengan ahli dunia dalam menuntut kemuliaan.
18.Berjalan atas muka bumi dengan tunduk dan patuh.
19. Sibuk hatinya menuntut kefahaman dan iktibar.
20. Sentiasa menyebut nama Allah bersama bersama orang berzikir
21.Lidahnya sentiasa menyebut nama Allah
Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, Akhlaq al-Ulama’, t.tpt 1996/1417,hlm:13,
22.Sentiasa dahagakan ilmu.
Kata-kata Ibn. Masud”Dua perkara yang tidak pernah kenyang iaitu orang yang ada ilmu yang sentiasa menambahkan rida Allah dan ahli dunia yang berusaha menghimpunkan harta.
Kata-kata Masruq seorang Tabiin di zaman Abu Bakar, Saidina Umar, Saidina Ali dan Saidina Osman “ Tanda seorang yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah dan tanda orang yang jahil ialah orang yang kagum dengan ilmunya” Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, 1996:64.)
23.Tidak berkompromi dengan maksiat yang dilakukan oleh pemerintah.
Daripada Ummu Salamah berkata” Bersabda Rasulullah SAW” Adalah atas kamu pemimpin, kamu kenal mereka dan kamu engkar, maka sesiapa yang ingkar maka ia telah melepaskan diri dan siapa yang benci maka ia selamat, dan tetapi siapa yang ridha dan mengikutnya maka dijauhkan oleh Allah kepadanya oleh Allah”. Maka dikatakan Wahai Rasulullah Apakah kamu perangi mereka tetapi baginda menjawab “tidak , selagi mereka solat”. Sahih Muslim: 1854
24.Orang alim musuh iblis
“Sabda Rasulullah SAW Seorang faqih begitu susah atas iblis, berbading dengan 1000 orang jahil” Kitab Ilmu Turmizi
25.Para ulama’ hendaklah mempunyai iltizam qiadi atau iltizam kepimpinan, kerana ulama’ adalah pemimpin masyarakat dan ummah seperti para Rasul SAW . Firman Allah “ Dan ingatlah ketika nabi Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimah (perintah suruhan dan larangan) maka nabi Ibrahim pun menyempurnakannya. Allah berfirman: “….Sesungguhnya aku akan melantik mu menjadi pemimpin bagi umat manusia..” (al-Baqarah,2:124)
Dengan demikian ulama’ bukan sekadar mengetahui tentang hukum hakam yang terbatas, bukan orang yang mengaji kitab feqah dan bukan juga ditentukan oleh serban dan jubah besar. Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar, , Bandung: Yayasan Latimojong, cet. Pertama, juz 22/30, 1984, hlm. 302-303.
Sebab itu ulama’ yang layak memimpin mereka mestilah meniru sikap dan akhlak nabi, maka barulah layak mereka menjadi pemimpin.
“Para ulama’ adalah pewaris nabi-nabi dan sesungguhnya para nabi tidak meninggalkan wang emas atau perak, tetapi mereka meninggalkan ilmu, sesiapa yang mengambilnya maka sesungguhnya ia telah mengambil habuan yang cukup”. (Imam Abu Bakar Muhammad bin Hussin Bin Abdullah Al-Ajiri, Takhrij wa ta’liq Sopian Nur Marbu Banjari al-Makki, Akhlaq al-Ulama’: 19)
Sebab itulah para ulama’ mereka yang layak mewaris nabi kerana nabi hanya meninggalkan ilmu dan mereka yang boleh memahami apa yang nabi tinggal ialah ulama’.
26. Keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah
Kata Imam Ghazali : Maka inilah dia perjalanan ulama’ dan juga adat mereka pada menyeru ke arah kebaikan dan mencegah kemungkaran, kurangnya mereka bergaul dengan pihak pemerintah dan akan tetapi mereka menyerahkan kepada kuasa Allah Taala untuk mengawasi mereka, mereka redho dengan ketetapan Allah Taala supaya dianugerahkan kepada mereka syahadah di jalanNya. Ketika mereka mengikhlaskan niat kerana Allah maka kalam-kalam mereka memberi kesan pada hati yang keras maka dengannya lembutlah hati dan hilanglah kekerasannya.
27. Bertolak ansur tolak ansur. Tidak fanatik dengan pandangannya sahaja. Contoh Imam-Imam mazhab boleh dijadikan ukuran.
Diriwayatkan bahawa Imam Shafie telah mengatakan “Seluruh manusia dalam bidang fiqah adalah keluarga Abu Hanifah” Beliau juga melaku kan solat subuh dekat kubur Abu Hanifah, beliau tidak melakukan qunut, beliau berbuat demikian kerana menghormati Abu Hanifah yng negatakan qunut tidak ada dalam solat subuh dan untuik mengajar pengikutnya supaya bertolak ansur kepada mazhab berkenaan. (Mohd. Radzi Othman dan O.K. Rahmat, 1996:61)
Kiyai Hasyim Asyaari, daripada Nahdatul Ulama, sebuah organisasi kaum tua mengatakan umat Islam agar jangan taksub kepada setengah mazhab atau setengah hukum di dalam soal furuk. Yang utama bagi umat Islam ialah membela Islam dan berjuang menentang orang yang menolak al-Quran.
Berjihad menghadapi musuh adalah wajib. Adapun taksub pada satu mazhab dan satu qaul ini tidak disukai oleh Allah. Apatah lagi sehingga mendorong kepada berebut-rebut dan berdengkian. (Umar Hasyim , 1982:232-233.
Amanat Mursyidul Am Kepada Petugas PAS Hadapi PRU 14
Gombak 26 Ogos 17- Tuan Guru Ustaz Hashim Jasin menyampaikan beberapa amanat dan nasihat kepada ahli dan penyokong PAS bagi menghadapi PRU ke 14 akan datang pada pagi ini di Dewan Dato' Haji Fadhil Mohd Noor dalam Liqa Fikri PAS Pusat yang dianjurkan oleh Lajnah Tarbiyah Dan Perkaderan PAS Pusat.
Liqa Fikri kali ini bertajuk: PRU 14: Merealisasikan Makna Pengorbanan Dalam Perjuangan.
Dalam ucapan yang ringkas tetapi padat itu, Murshidul Am PAS menyebut beberapa perkara:
1. Hadis Nabi: 'Islam datang dalam keadaan dagang, Ia akan kembali dagang, maka beruntunglah orang yang dagang. Para Sahabat bertanya: Siapakah orang yang dagang itu? Nabi bersabda (lebih kurang maksudnya):
Mereka yang membaiki urusan manusia di saat rosaknya masyarakat.'
2. Islam datang ke tengah masyarakat jahiliah. Ada 38 orang Islam ketika itu, Abu Bakar minta berceramah. Nabi sebut: Kita sedikit. Abu Bakar minta juga, Nabi akhirnya benarkan. Abu Bakar terima kesan negatif dari perkara itu.
3. Ayat Quran yang menyebut tentang 'celaka dua tangan Abu Lahab' turun di awal Islam. Ayat 'Apabila datang pertolongan Allah' turun di Madinah, tetapi ayat dan surah dalam Al-Quran terletak berdekatan.
Apa hikmahnya?
4. Umat Islam sedikit, masyarakat jahiliah ramai. Kini, di akhir zaman, umat Islam sedikit dan jahiliah bertambah. Ia kembali seperti asal. Namun yang sedikiit inilah yang beruntung. Ini disebut supaya kita tidak rasa kecewa andainya kita tidak dapat kerusi dalam PRU 14.
5. Dalam hadis lain disebut 'ghuraba' ialah golongan yang soleh tetapi minoriti, berada di tengah majoriti yang tidak soleh. Orang yang menolak orang soleh ini lebih ramai dari yang mengikut orang soleh.
6. Saya bawa perkara ini di ambang PRU 14. Kita nak menang, tapi kalau tak menang? Maka hadis ini jadi panduan.
7. Allah boleh tolong kita dengan pelbagai cara. Antaranya orang yang kita tak pernah termimpi dia akan berubah, dia boleh berubah. Sebab itu, kita lihat dalam sirah Nabi ada beberapa tahap dakwah:
i. Asalnya dakwah rahsia, organisasi rahsia. Ia berlaku di rumah Al-Arqam bin Abi al-Arqam.
ii. dakwah terang, organisasi rahsia.
iii. Selepas hijrah, dakwah dan organisasi terbuka.
8. Sekarang, mungkin boleh dipraktikkan ketiga-tiga tahap ini menurut orang tertentu dan situasi tertentu.
Contohnya di Perlis, ada orang yang kuat lawan PAS tapi sekarang nampak dekat dengan kita. Justeru, tahap dakwah rahsia, organisasi rahsia ini boleh digunakan dalam situasi dan figur tertentu.
9. Saidina Umar asalnya keluar rumah untuk membunuh Nabi SAW tetapi apabila beliau mendengar awal ayat surah Taaha, dia akhirnya bersedia menerima Islam.
Umar kata Islam betul, Muhammad betul, sedangkan dia belum mengucap lagi. Inilah yang disebut Al-Iman al-aqli. Secara akal, dia boleh terima, cuma belum mengucap. Orang ini mudah mendapat iman zauqi iaitu iman yang dirasai dalam hati.
Perkara ini mesti diberi perhatian, dan ia termasuk dalam jihad.
10. Perkara yang kedua, jihad ada rukun.
Dimulakan dengan Al-uzlah iaitu asingkan diri dari tempat yang tidak membawa kita taat kepada Allah.
Kedua, assamtu, iaitu tidak bercakap banyak, terutama dalam perkara yang tidak perlu.
Ketiga, asahr, berjaga malam dengan qiamulail.
Keempat, alju'-berlapar.
Semua perkara ini dilihat secara zahir seperti negatif sahaja tetapi ia membawa kepada kesan yang positif.
11. PAS cantik, ramai orang nak pinang. Syarat yang kita letak ialah apa sahaja yang kita buat, mesti menguntungkan Islam. Kalau tidak untungkan Islam, kita tolak.
12. Kita putus tahaluf. Orang lihat seolah-olah kita tutup pintu kepada sesetengah parti. Kita tutup pintu, bukan selak. Ertinya ada ruang lain dalam persefahaman politik, dengan syarat menguntungkan Islam.
13. Sekarang bangkit kembali gerakan perselisihan mazhab. Ini mengganggu perjalanan menegakkan Islam. Belajarlah dari 2 ekor anjing yang berebut tulang. Bila datang serigala, anjing ini halau serigala dahulu.
Ini di antara beberapa perkara yang mesti diberi perhatian oleh petugas PAS bagi menghadapi PRU 14 akan datang.
Sabtu, 26 Ogos 2017
Hukum Memuji Non Muslim Atau Orang Kafir
Apakah hukum memuji non muslim atau orang kafir? Bagaimana juga jika sampai memuji agama atau kekafiran mereka?
Dalam Al Qur’an, kita tidak diperbolehkan menjadikan non muslim sebagai pemimpin kita atau menjadikan mereka sebagai awliya’. Namun maksud awliya’ juga adalah menjadikan sebagai kekasih, orang yang dicintai, dan teman dekat, seperti itu tidak dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Jalalain, yang dimaksud menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya’ adalah menjadikan sebagai pemimpin dan sebagai teman.
Siapa yang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin dan teman dekat, maka ia termasuk golongan mereka. Yang dimaksud kata Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, siapa yang mencintai orang kafir secara sempurna, maka ia berarti berpindah pada agama mereka. Siapa yang mencintai sedikit, maka dapat menyeret pada kecintaan yang lebih. Perlahan-lahan akan mencintai mereka secara berlebihan sampai akhirnya pun menjadi bagian dari mereka. Itulah efek jelek dari mencintai orang kafir.
Jika loyal pada orang kafir tidaklah dibolehkan, maka memuji mereka pun tidak diperkenankan. Inilah di antara prinsip muslim yang telah dicontohkan oleh para ulama kita.
Al ‘Allamah Abu Ath Thoyyib Shidiq bin Hasan Al Bukhari rahimahullah dalam kitabnya Al ‘Ibrah (hal. 245), ia berkata,
“Siapa saja yang memuji orang Nashrani, menyatakan mereka adalah orang yang adil, orang Nashrani itu mencintai keadilan, pujian seperti ini pun banyak disuarakan di majelis, maka yang memuji termasuk orang fasik dan pelaku dosa besar. Sedangkan sikapnya untuk pemimpin atau raja muslim jadi dihinakan. Adapun orang kafir diagung-agungkan dan tidak pernah disebut zalim. Orang yang melakukan seperti itu wajib bertaubat dan menyesal atas sikapnya.Sedangkan kalau yang dipuji adalah dari sisi akidah kafir yang mereka anut, maka memuji mereka termasuk kekafiran.”
Guru kami, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhohullah berkata, “Siapa yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nashrani itu benar, maka ia kafir walaupun ia menjalani berbagai syariat Islam. Realitanya ia telah mendustakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya saja yang memuji non muslim dari sisi akhlak, kagum pada tingkah laku serta mengagungkan mereka, demikian itu haram. Seperti itu bertentangan dengan hukum Allah pada mereka.”
Dalam Al Qur’an, kita tidak diperbolehkan menjadikan non muslim sebagai pemimpin kita atau menjadikan mereka sebagai awliya’. Namun maksud awliya’ juga adalah menjadikan sebagai kekasih, orang yang dicintai, dan teman dekat, seperti itu tidak dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Jalalain, yang dimaksud menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya’ adalah menjadikan sebagai pemimpin dan sebagai teman.
Siapa yang menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin dan teman dekat, maka ia termasuk golongan mereka. Yang dimaksud kata Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, siapa yang mencintai orang kafir secara sempurna, maka ia berarti berpindah pada agama mereka. Siapa yang mencintai sedikit, maka dapat menyeret pada kecintaan yang lebih. Perlahan-lahan akan mencintai mereka secara berlebihan sampai akhirnya pun menjadi bagian dari mereka. Itulah efek jelek dari mencintai orang kafir.
Jika loyal pada orang kafir tidaklah dibolehkan, maka memuji mereka pun tidak diperkenankan. Inilah di antara prinsip muslim yang telah dicontohkan oleh para ulama kita.
Al ‘Allamah Abu Ath Thoyyib Shidiq bin Hasan Al Bukhari rahimahullah dalam kitabnya Al ‘Ibrah (hal. 245), ia berkata,
وأما من يمدح النصارى ، ويقول إنهم أهل العدل ، أو يحبّون العدل ، ويكثر ثناءهم في المجالس ، ويهين ذكر السلطان للمسلمين ، وينسب إلى الكفار النّصيفة وعدم الظلم والجور ؛ فحكم المادح أنه فاسق عاص مرتكب لكبيرة ؛ يجب عليه التوبة منها والندم عليها ؛ إذا كان مدحه لذات الكفار من غير ملاحظة الكفر الذي فيهم . فإن مدحهم من حيث صفة الكفر فهو كافر
“Siapa saja yang memuji orang Nashrani, menyatakan mereka adalah orang yang adil, orang Nashrani itu mencintai keadilan, pujian seperti ini pun banyak disuarakan di majelis, maka yang memuji termasuk orang fasik dan pelaku dosa besar. Sedangkan sikapnya untuk pemimpin atau raja muslim jadi dihinakan. Adapun orang kafir diagung-agungkan dan tidak pernah disebut zalim. Orang yang melakukan seperti itu wajib bertaubat dan menyesal atas sikapnya.Sedangkan kalau yang dipuji adalah dari sisi akidah kafir yang mereka anut, maka memuji mereka termasuk kekafiran.”
Guru kami, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafizhohullah berkata, “Siapa yang meyakini bahwa agama Yahudi dan Nashrani itu benar, maka ia kafir walaupun ia menjalani berbagai syariat Islam. Realitanya ia telah mendustakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya saja yang memuji non muslim dari sisi akhlak, kagum pada tingkah laku serta mengagungkan mereka, demikian itu haram. Seperti itu bertentangan dengan hukum Allah pada mereka.”